Lari Pagi di Gelora Manahan Solo
Pagi ini kami bangun pukul setengah lima. Dan setelah solat dan bersiap-siap ala kadarnya, Kembar A dan suaminya serta Kembar B berangkat ke Gelora Manahan untuk lari pagi. Suami Kembar B memilih untuk tetap tidur di hotel karena malas. Hahaha.
Lari pagi ini memang telah kami rencanakan di itinerary kami. Karena menurut kami, salah satu hal yang bisa dilakukan saat staycation adalah "living like a local" atau mencoba hidup seperti orang lokal, dan lari pagi adalah bagian dari itu.
Si Kembar hanya lari seadanya, sementara suami Kembar A malah sempat mengikuti senam pagi di suatu lapangan.
Kami memutuskan untuk keluar dari gelora menjelang pukul delapan dan berniat membeli salah satu makanan khas Solo, yaitu Cabuk Rambak. Namun, saat bertanya ke tukang parkir, dia mengatakan bahwa pedagang cabuk rambak di sekitar gelora sudah tidak jualan alias tutup permanen, sehingga akhirnya kami mencari alternatif makanan khas lain. Dalam perjalanan pulang, kami berbelol ke warung Tahu Kupat Pak Hadi yang terletak di Jalan Honggowongso. Tahu Kupat juga merupakan makanan khas Solo. Kami memesan tiga porsi untuk dimakan di tempat dan satu bungkus untuk suami Kembar B.
Sesampainya di hotel, kami segera mandi dan bersiap-siap. Setelahnya, kami segera berangkat ke destinasi berikutnya, yaitu Keraton Surakarta Hadiningrat.
Kulineran di Pasar Gede Harjonagoro
Dari Pop! kami melalui rute persis seperti waktu kami ke Tengkleng Klewer Bu Edi kemarin karena keraton ini memang terletak di area yang sama, yaitu di sekitar Alun-Alun Lor. Kami memarkir motor di sebuah halaman di dekat alun-alun dan berjalan kaki menuju ke arah keraton. Karena suasana cukup ramai oleh kendaraan, kami harus berjalan melipir di samping pagar-pagar tembok agar aman.
Tak berapa lama kami telah sampai di pintu gerbang yang mengarahkan kami ke sebuah halaman luas. Di ujung lain halaman, di sebuah bangunan entah apa, tampak tiga orang berpakaian seperti abdi keraton. Kami mendatangi mereka untuk berfoto sejenak, dan mereka meminta upah seikhlasnya.
Setelah berfoto, kami berjalan ke arah kanan, ke arah kendaraan lalu lalang. Sekitar 100 meter berjalan melewati jalanan berpaving, kami sampai di pintu masuk keraton.
Setelah kami membeli tiket, kami berempat masuk dan mulai menikmati suasana di dalam keraton. Karena ini sejenis museum, ya yang kita lakukan hanya melihat-lihat benda-benda bersejarah peninggalan keraton di dalamnya.
Tak lama kami di keraton. Setelah puas berkeliling, kami keluar dan berjalan kembali menuju ke tempat parkir motor. Sebelum itu, di halaman keraton kami sempat ditawari membeli foto yang ternyata sempat dijepret oleh salah satu fotografer saat kami berfoto dengan orang-orang yang berdandan seperti abdi keraton tadi, tapi kami menolak karena kami memang tidak menginginkannya. Kalau kalian mengalami hal serupa dan tidak mau membayar, ya bersikukuhlah untuk tidak membeli foto-foto tersebut. Pada akhirnya mereka akan menyerah dan tidak memaksa lagi.
Waktu itu cuaca sangat panas. Agak melenceng dari rencana awal, akhirnya kami memutuskan untuk berburu kuliner di Pasar Gede Harjonagoro. Kebetulan salah satu incaran kami adalah Dawet Telasih Bu Dermi yang cocok sekali dengan kondisi kami yang sangat kehausan.
Sesampainya di Pasar Gede Harjonagoro, kami sempat kebingungan beberapa saat sebelum akhirnya berhasil menemukan Dawet Telasih Bu Dermi. Untuk ukuran hanya dawet, bisa dibilang dawet ini cukup mahal, karena semangkok kecil berharga IDR 9.000.
Selesai minum dawet, kami lanjutkan mencari warung yang menjual makanan khas Solo yang lain, yaitu Brambang Asem. Dan kali ini, kami menemukannya dengan cukup mudah. Warungnya bernama "Makanan Khas Solo Lenjongan Bu Yuyun". Brambang Asem sendiri merupakan makanan yang bagi kami sangat aneh, karena terdiri dari sayur daun ketela rambat yang diberi kuah pedas yang dari rasanya sepertinya terbuat dari gula merah.
Selesai dari situ, karena panas yang terlampau menyengat, kami memutuskan untuk kembali saja ke hotel dan beristirahat sampai Asar.
Makan Nasi Buntel Tambak Segaran
Selesai mandi, solat Asar, dan sedikit berdandan, kami berburu kuliner lain yang agak berat, karena dari tadi siang kami memang belum makan makanan berat. Jadi sebenarnya, ini adalah makanan siang yang terlambat.
Kali ini, telah kami rencanakan dari awal untuk makan sate buntel, tapi kami mampir sejenak untuk membeli leker di daerah Gajahan terlebih dahulu. Perbedaan leker di Solo dengan leker-leker di tempat lain adalah, leker di Solo sangat gendut dan berharga IDR 4.000 & IDR 6.000 per buah tergantung isinya (leker di Surabaya sangat tipis dan hanya berharga IDR 500/buah). Yang kami kunjungi waktu itu adalah Leker Gajahan Bapak Fatoni yang kabarnya juga termasuk makanan legendaris di kota ini.
Waktu itu suasananya agak gerimis. Kami memakannya di tempat, sekalian menunggu gerimis mereda. Selesai makan, gerimisnya ternyata memang telah mereda. Alhamdulillah. Kami melanjutkan perjalanan untuk berburu Sate Buntel Tambak Segaran yang terletak sekitar 3 km dari tempat itu.
Dan lagi-lagi, Sate Buntel Tambak Segaran adalah makanan yang juga legendaris. Sate ini telah ada sejak tahun 1948. Ada beberapa menu olahan kambing di warung ini selain menu utamanya yang berupa sate buntel tersebut. Sate buntel sendiri merupakan sate yang terbuat dari cincangan daging kambing yang dibungkus dengan lemak kambing yang kemudian dibakar.
Karena suami Kembar B mengalami pusing-pusing setelah makan Tengkleng Klewer Bu Edi kemarin, diduga karena kolesterol naik, suami Kembar B tidak berani memesan sate ini, dan ganti memesan menu lain, yaitu nasi goreng kambing dengan pertimbangan yang menggunakan daging kambing paling sedikit (tapi ternyata isinya malah jeroan kambing, hehehe). Yang memesan sate buntel ini hanya si Kembar, sementara suami Kembar A memesan gule kambing. Dan secara keseluruhan, semuanya enak.
Selesai makan, karena hari telah menjelang senja, kami memutuskan untuk kembali ke hotel. Kami baru keluar lagi dari hotel pukul delapan lebih karena di luar ternyata masih hujan.
Makan Malam di Bakso Titoti
Kami bingung mau makan malam apa, dan akhirnya suami Kembar A mengajak kami untuk mencoba bakso solo di kota asal bakso ini. Akhirnya kami berbelok ke sebuah warung bakso bernama Titoti. Tentu tidak ada tulisan "bakso solo" nya, Guys. Kami di sana tidak lama, karena tak berapa lama setelah makanan kami habis, warung bakso tersebut tutup.
Setelah makan bakso, dengan perut yang telah kekenyangan, kami masih memutuskan untuk mampir di suatu angkringan untuk membeli sundukan dan kopi item. Selesai dari situ, kami kembali ke hotel, dan bersiap-siap tidur.