Hari: Pertama
Ribetnya Pengambilan Motor Trail
Alarm berdering pukul 02.30. Kami segera bangun dan mempersiapkan diri. Karena kemungkinan besar akan salat Subuh di Bromo, kami mempersiapkan wudu dari penginapan. Suami kembar A menelepon mas Konco terlebih dahulu. Beberapa kali telepon kami tidak diangkat. Akhirnya, suami inisiatif menelepon mas Yoyok dan baru setelah itu, telepon ke mas Konco diangkat. Dasar!
Dia menyuruh kami segera ke tempatnya, yang terletak agak jauh ke bawah. Dari ancer-ancer yang dia berikan, lokasi rumahnya sekitar 100 meter dari Hotel Ucik. Sekitar pukul 03.00, kami sampai di tempat Mas Konco; dia menunggu kami di pinggir jalan. Dia menyuruh kami memarkir mobil di suatu halaman yang cukup luas. Terlihat dua motor trail yang kami pesan terparkir juga di situ.
Kami menyerahkan sisa pembayaran. Namun, karena rupanya bensin belum diisi (sebenarnya, sesuai dengan perjanjian, kami membayar motor yang bensinnya sudah diisi oleh pemilik), akhirnya uang yang kami berikan dikurangi IDR 40.000, dengan perhitungan dua liter bensin per motor. Jadi, sisa uang yang kami bayarkan yang seharusnya IDR 400.000 menjadi tinggal IDR 360.000.
Dari rumah mas Konco tadi, kami masih harus turun lagi untuk mendatangi sebuah rumah yang menjual bensin. Sebal juga sebenarnya, tapi mau bagaimana lagi. Kami mengetuk rumah penjual bensin tersebut dengan sedikit sungkan karena pasti dia masih tidur. Dan yang menyebalkan lagi, ternyata bensin literannya tidak tersedia. Yang ada hanya tinggal jerigen berisi 5 liter bensin. Jadilah kami membeli satu jerigen tersebut dan dibagi dua.
Selesai mengisi bensin, kami segera memulai petualangan kami. Udara yang dingin terasa menampar pipi kami saat kami menaiki motor itu. Di tempat dekat Seruni Point, kami yang hendak menunjukkan tiket dibiarkan masuk begitu saja karena rupanya bapak penjaga loket masih ingat dengan kami. Maklum, saat itu weekday jadi volume pengunjung tidak terlalu ramai.
Perjuangan Melelahkan Menuju Puncak Penanjakan
Selesai dengan loket tersebut, beberapa meter ke atas, kami bertemu dengan loket lain lagi. Kali ini adalah loket untuk tiket masuk ke Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Untuk satu motor dua orang, kami diwajibkan membayar IDR 60.000 (dengan rincian IDR 27.500 untuk tiket hari kerja untuk dua orang plus IDR 5.000 untuk motor).
Orang-orang di sekitar loket memberikan petunjuk arah menuju Penanjakan. Begitu memasuki pasir, kami diharuskan belok kanan, kemudian lurus saja mengikuti jajaran patok. Atau, kalau ragu, sebaiknya menunggu hardtop yang lewat dan mengikuti dari belakang, tapi wajib menjaga jarak aman.
Akhirnya, kami pun sampai di akhir aspal dan turun ke lautan pasir. Di satu titik, terdapat sebuah pohon yang dikelilingi pagar. Rupanya, itu penanda belokan yang dimaksud oleh bapak tadi. Agar lebih aman, kami menunggu hardtop yang lewat tak lama kemudian. Benar kata bapak di loket tadi. Begitu belok kanan, kami langsung bisa melihat deretan patok yang memang telah dicat sedemikian rupa sehingga terlihat jelas melalui pancaran lampu motor kami (plus lampu hardtop di depan kami).
Tak berapa lama, kami sampai di mulut Penanjakan. Kami biarkan hingga hardtop tak terlihat lagi dari pandangan guna mencapai jarak aman. Setelah hardtop hilang dari pandangan kami, kami mulai bergerak. Pada tanjakan yang cukup tajam, lagi-lagi kami mengalami masalah. Rupanya, kedua motor tidak berada dalam kondisi yang fit. Secara fisik, ada masalah pada bagian lubang kunci motor KLX sehingga susah sekali untuk memutar kuncinya dan pijakan kaki penumpang bagian kanan motor Viar hilang. Secara mesin, sepertinya memang motor dalam keadaan sakit. Pada saat kami sudah melalui tanjakan-tanjakan awal dari Penanjakan, kedua motor tampak tersengal dan beberapa kali mesin mati. Hal ini terjadi berkali-kali dan lumayan membuat stres juga. Apalagi ketika beberapa motor matic melewati kami dengan begitu lancarnya. Hahaha. Rasanya hati sedikit teriris.
Akhirnya dengan perjuangan super keras, dengan beberapa kali mesin nyala mati nyala mati yang menguras kesabaran, kami tiba di tempat parkir di dekat puncak Penanjakan. Segera setelah memarkir motor, kami bergantian salat Subuh di tempat yang tersedia di dekat tempat melihat sunrise.
Selesai salat, kami mencari tempat yang pas untuk menikmati sunrise. Suasana di Penanjakan cukup ramai meskipun tidak sebegitu padat seperti saat kemarau. Udara pun juga tidak sedingin kemarau. Suami kembar B pun bisa menghadapi dinginnya tanpa memakai jaket.
Namun, sayangnya, kami tak cukup beruntung pagi itu. Dari sejak kami tiba, kabut terlihat sangat pekat, dan semakin pekat ketika matahari mulai naik. Dan semburat di langit lama-lama terlihat semakin merah. Pada saat itu, kami sadar bahwa kami telah kehilangan sunrise itu dan memutuskan untuk turun.
Perut yang keroncongan rupanya juga minta diisi. Kami memutuskan untuk makan mi dulu di salah satu warung yang ada di sekitar situ. Selain mi, kami juga memesan masing-masing segelas kopi. Dengan posisi duduk yang dekat dengan gorengan, tanpa sadar kami sudah mengambil entah berapa gorengan. Dan kami baru sadar telah melakukan kesalahan besar ketika ternyata total uang yang kami berempat harus bayarkan adalah IDR 130.000. Well, ini adalah suatu kebodohan. Tapi, karena sudah terjadi, ya sudahlah.
Berburu Foto di Penanjakan
Dengan perut kenyang dan dompet mengempis, kami bergegas turun untuk mencari spot foto yang lebih bagus. Kami mampir di belokan yang bertuliskan “Mushala Syariah Mandiri”. Di sini, spot fotonya benar-benar keren dan indah.
Dari titik tersebut, kami berpindah lagi ke suatu belokan yang rupanya sudah dipenuhi beberapa orang. Titik ini merupakan salah satu titik terbaik untuk mendapatkan foto dengan latar Bromo. Kami bahkan naik ke sebuah bukit untuk mendapatkan hasil foto yang lebih bagus lagi.
Puas dengan hasil foto, kami melanjutkan perjalanan menuruni Penanjakan. Pada saat sudah terang, tahulah kami bahwa semakin mendekati mulut Penanjakan, rutenya semakin curam. Inilah yang menyebabkan motor kami tadi tersengal-sengal. Dari info yang kami dapat, banyak motor yang batal naik atau akhirnya mengalah dengan menyewa ojek karena kampas koplingnya habis. Alhamdulillah, kami tidak mengalami hal serupa.
Turun dari Penanjakan, kami sempatkan berfoto sejenak beberapa meter dari mulut Penanjakan. Di situ, suami kembar B yang tengah asyik menderum-derumkan motornya malah dikejar anjing. Kata ibu yang sedang mencari rumput di sekitar situ yang juga merupakan si pemilik anjing, Pablo, nama anjing itu, memang suka mengganggu orang yang menderum-derumkan mesin motor. Namun, sebenarnya, dia anjing yang baik. Dia tidak mengganggu orang yang tidak memainkan mesin motornya. Bahkan, dia suka sekali difoto. Dan, kata ibu itu lagi, dia juga pernah ikut syuting di acara MTMA lho. Wah, anjing selebritis rupanya si Pablo ini.
Bernarsis Ria di Sekitar Gunung Bromo
Selesai berfoto di situ, kami melanjutkan lagi perjalanan kami. Sembari mencari spot untuk berfoto, kami manfaatkan waktu untuk bersenang-senang dengan motor trail kami. Kami mengeksplorasi hamparan pasir yang luas itu. Sungguh menyenangkan. Udara dingin masih terasa menampar-nampar wajah kami walaupun sudah tak sedingin tadi. Matahari sudah terasa hangat. Suami kembar A menghentikan motor di suatu hamparan pasir. Di situ, kami bisa berfoto dengan latar Gunung Widodaren yang teksturnya terlihat sangat jelas dan di sisi lain ada pula Gunung Batok yang gagah. Indah sekali.
Puas berfoto di situ, si kembar meminta untuk segera ke Bukit Jemplang atau yang lebih dikenal dengan nama "Bukit Teletubbies". Perjalanan menuju kesana kami nikmati dengan baik. Kami melewati hamparan pasir berbisik yang kondisinya padat karena hujan.
Dari situ kami terus melaju hingga mencapai Blok Savana yang rupanya sudah dipenuhi beberapa orang yang kebanyakan menggunakan hardtop. Tak terlalu ramai sih, jadi kami masih bisa hunting foto dengan leluasa. Bagi kalian yang ingin keliling dengan kuda atau sekedar berfoto bersama kuda, ada bapak-bapak yang menyewakan jasa tersebut. Hehehe.
Kami sempatkan untuk beristirahat di situ, menikmati hehijauan di keseluruhan sisinya. Sungguh indah. Rasanya ingin berdiam di sini tanpa melakukan apapun. Keindahannya juga tidak bisa terdeskripsikan. Ketika suami memutuskan untuk tiduran di Blok Savana, si kembar memutuskan untuk sedikit mengeksplorasi bagian yang mendekati gunung di seberang Blok Savana. Ternyata gunung itu masih jauh, lebih jauh dari perkiraan kami. Akhirnya kami hanya berfoto dengan background gunung tersebut dan Bukit Jemplang di kejauhan.
Setelah puas dan rasa capek sudah sedikit terobati, kami memutuskan untuk kembali ke losmen yang lokasinya hanya beberapa menit saja dari Blok Savana. Ketika sampai di lautan pasir, kami sempatkan untuk membeli kopi panas di penjual yang kebetulan sedang mangkal di situ.
Sampai di losmen, sekitar pukul 10.00, kami langsung membanting tubuh kami di kasur yang empuk. Kami mau istirahat agar saat perjalanan pulang bisa lebih fresh. Rencananya, kami ingin tiduran agak lama karena sudah diberi izin oleh pimilik losmen untuk late check-out karena saat itu low season. Namun, sekitar jam 12.30, ponsel suami kembar A berdering. Rupanya mas Konco yang menelepon, menanyakan kami ada dimana.
Karena sudah siang, akhirnya kami yang sudah mulai lapar lagi ini memutuskan untuk mencari makan. Barang-barang sudah kami packing sekalian, siapa tahu nanti kami malas kembali lagi ke losmen dan langsung cabut. Pak penjaga tidak ada di situ, jadi kami langsung keluar.
Karena saat itu low season, banyak warung yang ada di sekitar losmen tidak berjualan. Kami harus turun lagi dan lagi. Kami bahkan sudah melewati rumah mas Konco tapi belum menemukan makanan. Akhirnya, kami menemukan warung yang buka di dekat Hotel Yoschi's.
Suami kembar B memesan rawon dan kami bertiga memesan nasi campur. Ah, kami dapat zonk lagi. Nasi rawon dan nasi campur punya suami enak dimakan tapi punya si kembar kok kaya gitu ya. Sama sekali tidak bisa dimakan. Yah, inilah salah satu risiko traveling saat low season.
Setelah makan, kami sekalian salat Zuhur di Masjid Al Hidayah yang ada tepat di pertigaan Desa Wonokerto, tak jauh dari warung tadi.
Selesai salat, kami kembali naik dan memutuskan untuk sedikit berkendara ke atas lagi dan berfoto dengan suasana pegunungan di sekitar situ.
Karena sudah lelah bahkan untuk sekadar berfoto, kami akhirnya sepakat untuk menyudahi petualangan kami dan segera pulang saja. Apalagi kan suami kembar A masih harus menyetir selama beberapa jam ke depan. Jadi tenaga harus dihemat.
Kami menuju ke rumah mas Konco, menyerahkan kunci, dan tak lupa berterima kasih. Selesai itu, kami segera cabut. Kami bersyukur dengan keputusan kami untuk langsung packing tadi karena pada akhirnya kami memang tidak kembali ke losmen. Kembar B mengirim SMS ke pak Santoso, mengatakan bahwa kami sudah cabut tapi tidak bilang karena penjaganya tidak ada.
Untuk menghindari macet yang ada di Bangil, kami akhirnya memilih untuk lewat Malang saja. Walaupun lebih jauh tapi kan bebas macet jadi tidak stres sopirnya. Hahaha.
Saat sampai di Pasuruan, kami mencari masjid untuk salat Asar. Selesai salat, si kembar, yang memang tadi tidak jadi makan, merasa lapar. Akhirnya kami pun berbelok ke tempat makan pinggir jalan dan membeli bakso. Lumayan. Bakso Pasuruan masih seenak Bakso Malang kok.
Baca juga:
PIKNIK TIPIS-TIPIS KE BATU DAN MALANG (4 JANUARI 2017)
Jalanan pulang lumayan padat walaupun tidak semacet tempo hari. Untuk memangkas waktu, suami kembar A memilih untuk lewat tol Pandaan – Porong lalu disambung dengan tol Porong – Waru. Akhirnya, setelah perjalanan yang panjang dan melelahkan, kami tiba di rumah sekitar pukul 19.20.
Hari: Pertama
Artikel terkait:
TRAVELING MURAH BANYUWANGI, TABUHAN, DAN BALURAN 3 HARI DUA MALAM (3D2N): HARI PERTAMA (17 APRIL 2016)
TRAVELING SERU KE AIR TERJUN TANCAK JEMBER
Tidak ada komentar:
Posting Komentar