Traveler: Kembar A dan Suami Kembar A
Starting Point: Rambipuji, Jember
Memulai Perjalanan dari Rambipuji Jember
Perjalanan kami ke Bali ini sebenarnya sangatlah mendadak. Malam sebelumnya, Gunung Kelud meletus dan dari kabar yang kami terima, telah terjadi hujan abu di beberapa tempat, termasuk Surabaya. Entah karena tak bisa membayangkan harus berhadapan dengan hujan abu tersebut, atau karena ingin memberiku surprise, suamiku menawarkan untuk jalan-jalan ke Bali.
Kami berangkat agak siang sekitar pukul 10.00. Kami diantar oleh saudara kami hingga ke tempat kami bisa mencegat angkot di dekat Balai Desa Gumelar, Rambipuji. Rencananya, kami akan ke Terminal Tawang Alun dan naik bus menuju Bali. Tapi bayangan naik bus untuk jarak yang jauh membuat kepala kami pening. Hahaha.
Suamiku akhirnya berinisiatif agar kami naik angkot saja ke stasiun Rambipuji, lalu membeli tiket ke Stasiun Banyuwangi Baru. Namun, dengan alasan efektivitas waktu, alih-alih naik angkot ke Stasiun Rambipuji, kami langsung naik angkot menuju Terminal Tawang Alun untuk kemudian oper angkot jurusan Stasiun Jember. Sebenarnya kami masih belum yakin tentang masih ada atau tidaknya tiket ke Banyuwangi ini. Jadi ini memang sedikit gambling. Tapi seandainya kehabisan tiket pun kami kan tetap masih bisa naik bus walaupun mungkin sedikit ribet.
Angkot dari Rambipuji ke Terminal Tawang Alun |
Angkot dari Terminal Tawang Alun ke Stasiun Jember |
Naik Mutiara Timur dari Stasiun Jember ke Stasiun Banyuwangi Baru
Angkot yang kami tumpangi akhirnya sampai juga di Stasiun Jember sekitar 45 menit kemudian. Di situ suasananya sudah ramai padahal bukan akhir pekan.
Suasana Stasiun Jember yang ramai |
Kami menanyakan tiket untuk ke Banyuwangi dan Alhamdulillah tiket masih ada. Kami membeli tiket Mutiara Timur seharga IDR 50.000 per orang (per 14 Februari 2014) yang akan berangkat pukul 13.05.
Tiket kereta Mutiara Timur jurusan Jember - Banyuwangi Baru |
Kami perlu menunggu lebih dari satu jam hingga jadwal keberangkatan tersebut. Waktu menunggu kami manfaatkan untuk istirahat sejenak dan menikmati suasana sekitar stasiun.
Setelah menunggu lama, kereta Mutiara Timur akhirnya tiba. Kami pun langsung mencari tempat duduk kami. Ketika masuk ke dalam kereta, kami menemukan bahwa tempat duduk kereta tersebut banyak pasirnya. Bagian jendela pun agak kotor tertutup pasir hitam.
Bagian dalam Kereta Mutiara Timur |
Setelah berpikir sejenak, kami baru sadar bahwa kemungkinan besar itu adalah pasir akibat letusan Gunung Kelud semalam karena kereta itu kan berangkat tadi pagi dari Surabaya.
Selama perjalanan dari Jember ke Banyuwangi, kalian akan disuguhi pemandangan yang sangat indah. Apalagi ketika kereta melewati Hutan Gumitir.
Perjalanan memakan waktu sekitar 1,5 jam. Kami tiba di Stasiun Banyuwangi Baru pukul 15.30. Untuk pertama kalinya, aku pun menjejakkan kaki di Stasiun Banyuwangi Baru. Perjalanan ke Bali sebelum-sebelumnya selalu dengan bus pariwisata dan mulainya selalu di Pelabuhan Ketapang.
Stasiun Banyuwangi Baru |
Menikmati Perjalanan Naik Kapal Feri dari Pelabuhan Ketapang ke Pelabuhan Gilimanuk
Dari Stasiun Banyuwangi Baru ini, kami tinggal berjalan kaki mengikuti beberapa orang yang juga akan menuju ke Pelabuhan Ketapang.
Pelabuhan Ketapang |
Kami kemudian masuk ke suatu lorong yang terhubung dengan loket untuk membeli tiket kapal feri. Kami harus membayar tiket sebesar IDR 6.500 per orang (per 14 Februari 2015). Harga akan bertambah jika kalian membawa motor atau mobil. Perjalanan dengan kapal feri ini memang murah. Jadi, kalian yang dompetnya tipis bisa memilih alternatif transportasi yang satu ini.
Daftar tarif kapal feri |
Setelah melewati pagar pemeriksaan, kami pun langsung disuguhi pemandangan laut yang luas. Sambil sedikit berfoto-foto, kami berjalan menuju kapal.
Di atas kapal, kami bebas duduk dimanapun. Barang bawaan yang tidak begitu banyak memudahkan kami berpindah dari ruang dalam ke luar atau sebaliknya. Kami menghabiskan lebih banyak waktu di luar kapal, tepatnya di dek tingkat kedua. Di luar situ juga disediakan beberapa kursi yang menempel di dinding tapi tampaknya sudah penuh jadi kami memilih untuk berdiri di dekat pagar kapal sambil menikmati pemandangan dan hembusan angin laut. Apalagi dari tengah laut, kalian akan bisa melihat Gunung Agung di Pulau Bali dan Gunung Raung di Pulau Jawa.
Bagian dalam kapal feri |
Dek kapal feri khusus untuk kendaraan |
Gunung Raung di kejauhan |
Akhirnya Kami Sampai di Bali
Perjalanan dengan kapal feri memakan waktu sekitar 1 jam. Ketika sampai di Pulau Bali, hari sudah mulai gelap, mungkin sekitar jam 5 WIB atau jam 6 WITA. Hehe, jangan lupa menyesuaikan jam kalian ya.
Seorang kondektur menawari kami untuk naik ke busnya yang masih ada satu kursi kosong dan akan ada penumpang lain yang segera turun. Kami mengiyakan tawaran bapak tersebut. Aku duduk di dekat pintu, di samping sopir.
Ketika akan keluar dari wilayah pelabuhan, semua penumpang bus harus turun dan masuk ke suatu ruangan pemeriksaan. Hal ini dilakukan oleh Pemda Bali untuk mencegah teroris masuk ke Pulau Bali. Kami dimintai KTP dan setelah itu dibiarkan lewat. Penumpang yang belum memiliki e-KTP harus membayar sekitar IDR 10.000 dan kebetulan suami aku memang belum memiliki e-KTP waktu itu.
Bus yang kami tumpangi sudah menunggu agak jauh dari tempat pemeriksaan tersebut. Kami pun bergegas menuju kembali ke bus tersebut. Setelah semua penumpang naik, bus pun melaju.
Ketika melewati gapura entah apa, aku yang kebetulan memang duduk di samping sopir langsung mengeluarkan ponsel untuk memotret. Pak sopir bus yang baik bahkan sempat melambatkan laju kendaraanya dan mengatakan bahwa gapura ini merupakan spot foto bagi pengendara kendaraan pribadi.
Terminal Mengwi yang Bikin Keki
Perjalanan dengan bus dari Pelabuhan Ketapang ke Denpasar memakan waktu sekitar 3,5 jam. Semula kami berpikir kami akan turun di Terminal Ubung yang lebih besar dan menurut pendapat kami semula tentunya lebih mudah jika harus mencari kendaraan untuk menuju tujuan kami selanjutnya. Apalagi kami sebenarnya juga masih harus bertemu dengan saudara suami yang bekerja di Bali dan sudah terlanjur janjian akan bertemu di Terminal Ubung.
Suasana dari dalam bus |
Hari sudah malam ketika kami memasuki Denpasar |
Tak berapa lama kemudian, bus masuk ke Terminal Mengwi dan kondektur mengatakan bahwa itu adalah terminal terakhir. Semua penumpang yang tersisa memang tinggal turis saja. Penumpang non-turis sudah habis sepanjang perjalanan tadi.
Kondektur mengatakan bahwa ini peraturan baru. Mau bagaimana lagi, kami akhirnya turun. Angkot sudah tak lagi tampak. Saat itu sudah hampir pukul 10. Entah, apa memang angkot sudah berhenti beroperasi pada jam segitu.
Kami akhirnya menyewa satu mobil plat hitam yang memang mangkal di situ. Kami patungan bersama beberapa orang lainnya yang memang searah dengan kami. Kami membayar IDR 50.000 per orang untuk bisa sampai ke Kuta.
Sebelum sampai lokasi yang kami inginkan, saudara suami mengirim SMS yang meminta kami turun di pinggir jalan saja karena akan dijemput.
Sebenarnya tadi kami sudah tinggal sedikit lagi sampai di Kuta. Tapi untuk menghormati saudara suami, kami pun turun. Aku sendiri lupa itu jalan apa. Yang jelas, saudara suami dan satu orang lagi sudah menunggu di sekitar situ. Dua pengendara itu tidak memberi kami helm. Saudara suami itu memberi kopyah mercan ke suamiku sebagai pengganti helm dan untuk perempuan, selendang yang diikat di kepala layaknya kerudung sudah cukup untuk pengganti helm. Yah, begitulah Bali saat kami berkunjung ke sana di tahun 2014.
Saudara suami semula ingin kami tidur di tempat mereka. Tapi karena ingin liburan ini sepenuhnya mandiri dan bisa diduplikasi oleh orang lain, kami menolak dengan mengatakan bahwa kami ingin berbulan madu.
Mencari Penginapan di Poppies Lane
Akhirnya mereka berdua mengantarkan kami ke Kuta, tepatnya di depan gang Poppies Lane 2. Sampai di Poppies Lane 2, mereka berdua cabut. Kami masih harus berjalan beberapa meter menuju Gang Ronta, tempat Ronta Bungalow yang telah kami baca review-nya di internet.
Kami memutuskan untuk menggunakan booking manual. Dari awal kami memang ingin merasakan atmosfer backpacking di Poppies Lane yang terkenal itu, jadi kami memilih untuk langsung datang ke Poppies Lane dan tidak menggunakan aplikasi booking online. Dan usut punya usut, Ronta Bungalow ini merupakan salah satu penginapan termurah di situ. Menyenangkannya lagi, di dekat situ ada tempat makan masakan Indonesia, Warung Indonesia, (kepunyaan orang asing sepertinya) yang sedap dan murah.
Tarif penginapan kami saat itu IDR 175.000 per malam (per 14 Februari 2014). Kami sempat hanya booking semalam saja karena berencana hunting penginapan lain. Tapi karena kami tidak menemukan tempat lain yang lebih murah, akhirnya kami memperpanjang waktu menginap kami di penginapan tersebut hingga dua hari.
Tak lupa suami bertanya tentang persewaan motor. Rupanya kami dapat harga yang lebih mahal, yaitu IDR 60.000, karena kami menghubungi rental motor melalui jasa penginapan. Padahal, jika memesan langsung di rentalnya, harganya bisa sekitar IDR 40.000-50.000 (per 14 Februari 2014) saja.
Baca juga:
TIPS SEWA MOTOR DI KUTA UNTUK KELILING BALI
Sejenak Menikmati Kuta di Malam Hari
Setelah mandi dan beristirahat sejenak, kami memutuskan untuk keluar dan menikmati suasana Kuta di malam hari. Kami kemudian mampir ke Pantai Kuta. Kami duduk di salah satu bagian pantai yang kosong menghadap ke laut. Bulan tampak mengintip malu dari balik awan. Kami terus duduk di situ hingga beberapa saat, menikmati ombak dalam kegelapan yang remang serta angin malam pantai yang menyejukkan.
Salah satu sudut Kuta |
Suasana Pantai Kuta di malam hari |
Setelah puas, kami kembali ke penginapan dan mempersiapkan diri untuk perjalanan esok hari.
Kondisi kamar di Ronta Bungalow |
Itinerary
Artikel terkait:
TRAVELING SERU KE AIR TERJUN TANCAK JEMBER
TRAVELING MURAH BANYUWANGI, TABUHAN, DAN BALURAN 3 HARI DUA MALAM (3D2N): HARI PERTAMA (17 APRIL 2016)
JELAJAH BROMO DENGAN MOTOR TRAIL: HARI PERTAMA (11 JANUARI 2017)
REVIEW BARU DUA BEACH HOTEL, BANYUWANGI: PENGINAPAN PINGGIR LAUT SUPER MURAH DI BANGSRING
Biar lebih praktis, bisa tu gan coba naik travel Jember Denpasar saja
BalasHapus