Perjalanan bus memakan waktu sekitar 6 jam. Kami sampai di terminal Pacitan sekitar pukul 5. Setelah salat Subuh di musala terminal yang kurang terawat, kami sempatkan untuk narsis sebentar.
Selang berapa waktu kemudian, dua orang tukang ojek menawarkan jasanya untuk mengantarkan kami. Mereka meminta ongkos 15.000 per motor (per Oktober 2014). Okelah, lumayan. Selain itu, kami juga tidak punya alternatif kendaraan lainnya untuk menuju ke homestay. Kami pun menyewa dua motor.
Kami meminta diantarkan ke Araya Homestay. Beberapa hari sebelumnya, suamiku sudah mencari informasi mengenai penginapan yang ada di Pacitan. Salah satu penginapan yang terkenal (tapi banyak bulenya) adalah Harry’s. Tapi karena penuh, kami mendapat saran untuk menginap di Araya dengan harga IDR 100.000/malam (per Oktober 2014). Aku sih senang karena terus terang aku ini tidak terlalu suka tempat yang ramai oleh bule.
Baca juga:
REVIEW ARAYA HOMESTAY, PILIHAN PENGINAPAN MURAH DI PACITAN
Araya Homestay dan Harry’s ini terletak di sekitar Pantai Teleng Ria. Meskipun tujuan kalian adalah pantai-pantai lainnya, sangat kami sarankan untuk mengambil penginapan di sekitar sini karena dekat dengan terminal. Jadi, biaya ojek tidak akan terlalu mahal. Dan jika kalian akan pulang nanti, terminal tidak terlalu jauh jadi kalian tidak perlu takut ketinggalan bus. Oh ya, ada baiknya kalian mencatat nomor telepon tukang ojeknya karena siapa tahu nanti kalian membutuhkan jasa mereka ketika akan pulang.
Ketika sampai di Araya, penjaganya bahkan belum datang. Setelah menelepon dan menunggu beberapa saat, sang penjaga homestay akhirnya tiba dan kami dipersilakan masuk ke salah satu kamar yang tersedia. Kami memesan kamar tersebut untuk dua hari.
Saat itu masih sekitar pukul 7. Check in harusnya baru bisa dilakukan pukul 12. Kami berencana menitipkan barang dulu dan jalan-jalan sebentar sembari menunggu waktu check-in tiba. Tapi penjaganya sangat baik. Kami dipersilahkan untuk early check-in tanpa dikenai tambahan biaya.
Menyenangkannya lagi, kalian juga bisa langsung menyewa motor di Araya Homestay ini. Biaya sewa motornya adalah IDR 50.000 sehari semalam (per Oktober 2014) dan sudah termasuk dua helm. Motor yang kami sewa adalah motor matic Yamaha dengan kondisi yang tidak terlalu bagus. Bahkan bisa dibilang sedikit jelek mengingat jalanan di Pacitan banyak yang mendaki dan menurun. Kami menyewanya untuk dua hari. Jadi, total yang kami bayarkan adalah IDR 300.000 untuk kamar dan motor selama dua hari.
Mengunjungi Pantai Buyutan, Pantai Banyu Tibo, Pantai Watu Karung, dan Pantai Klayar
Setelah beristirahat barang sejenak, sekitar pukul 08.00 kami memulai perjalanan kami. Dalam perjalanan kali ini, memang kami tidak membuat itinerary. Jadi, perjalanan yang kami lakukan memang sedikit tidak terencana, seperti halnya perjalanan kami ke Bali yang kami lakukan sebelumnya. Yang ada di benak kami adalah mengunjungi Klayar dan Banyutibo, tanpa mengetahui bahwa ada banyak pantai lain di sekitar situ.
Baca juga:
PERJALANAN TAK TERENCANA KE PULAU BALI 4 HARI 3 MALAM (4D3N): HARI PERTAMA (14 FEBRUARI 2014)
Dari arah Pantai Teleng Ria, kami berkendara melewati jalur selatan menuju ke barat, tepatnya ke arah kota Solo. Kami hanya mengikuti petunjuk jalan menuju Pantai Klayar yang memang sudah cukup jelas. Yang pasti jangan pernah sungkan untuk bertanya ke penduduk sekitar ketika bingung agar tak tersesat. Kalian juga bisa memanfaatkan GPS jika memang kalian memiliki alat potret lain selain ponsel yang akan digunakan untuk ber-GPS ria tersebut.
Kami waktu itu juga sempat berhenti untuk sarapan di suatu warung yang kami lewati, sekaligus bertanya mengenai arah yang benar ke ibu warung.
Untuk menuju ke Pantai Klayar, kalian bisa mampir ke beberapa pantai, antara lain Pantai Buyutan, Pantai Banyutibo, dan Pantai Watu Karung. Jalan yang ditunjukkan ibu tadi merupakan jalan ke arah Goa Gong dan Goa Putri. Kami juga masih melewati beberapa gua lainnya, termasuk Goa Tabuhan dan Goa Kalak. Namun, kami tidak mampir karena dalam benak kami, kami ingin mengunjungi pantai saja untuk perjalanan ke Pacitan kali ini dan akan mengunjungi gua-gua pada perjalanan lainnya. Alasan utamanya adalah karena kami tidak memiliki kamera yang mumpuni untuk bisa menangkap keindahan gua-gua tersebut.
Dalam perjalanan itu, kami akhirnya tiba di sebuah pertigaan. Jika lurus ke arah Pantai Klayar, dan ke kanan ke arah Pantai Banyutibo.
Dalam perjalanan menyusuri jalan ke Pantai Banyutibo tersebut, kami menemukan petunjuk arah ke Pantai Buyutan. Akhirnya, kami memilih untuk ke Pantai Buyutan terlebih dahulu karena kalau dilihat dari petunjuk jalan itu, sepertinya lokasi pantai ini memang lebih dekat. Dari arah petunjuk ke Pantai Buyutan tadi, kalian tinggal masuk saja mengikuti aspal. Namun, nanti aspal akan berganti jalan setapak dua lajur yang hanya bisa dilewati motor.
Pantai Buyutan ini terletak di Desa Widoro, tepatnya di Dusun Tumpuk Watu. Nama dusun ini sepertinya sesuai dengan kondisi sekitar situ yang memang banyak batu bertumpuk. Entahlah.
Karena tempat ini belum dikembangkan oleh pemerintah, kanan kirinya juga masih sepi, dan hanya ada rumah serta tegalan penduduk. Dari jalan setapak yang naik turun itu, kalian akan sampai ke hamparan sawah. Saat itu musim kemarau jadi suasana sangat terik, tapi itu tidak menghalangi kami untuk menemukan Pantai Buyutan.
Kami tiba di tempat ini sekitar pukul 09.30. Di ujung hamparan sawah itu, nanti ada semacam lahan di pinggir tebing yang kemudian kami manfaatkan untuk tempat parkir. Para petani tampaknya juga parkir motor di situ. Setelah memarkir motor (dengan sedikit was-was karena setelah kami sampai para petani tersebut juga pergi), kami akhirnya turun ke Pantai Buyutan yang memang terletak di dataran yang lebih rendah, di bawah tebing tadi. Sebelum turun, kami sempatkan untuk berfoto di atas karena dari tempat ini kalian bisa melihat pemandangan Pantai Buyutan secara lebih luas.
Meskipun jalan menurun menuju pantai sudah disemen, akan tetapi secara keseluruhan pantai ini belum banyak disentuh. Sebenarnya, kita sepertinya bisa turun dengan naik motor tapi saat itu kami memilih untuk jalan kaki saja karena takut tidak menguasai medan menurun tersebut. Setelah jalan menurun itu, kami masih harus berjalan lagi beberapa meter hingga akhirnya bisa menyentuh pasir pantai yang sangat lembut dan berwarna putih.
Di dekat pantai, ada beberapa lapak penjual tapi penjualnya tak nampak. Mungkin karena hari itu masih Sabtu dan mereka berjualan di hari Minggu atau memang tak banyak pengunjung jadi mereka tidak lagi berjualan di situ? Entahlah.
Dan saat itu hanya kami berdua yang ada di pantai itu. Kami hanya bermain-main pasir dan berfoto sebentar karena kami berencana untuk berbasah-basah di pantai selanjutnya.
Dari arah masuk ke Pantai Buyutan tadi, kami terus ke arah Pantai Banyutibo. Kalian tinggal lurus saja hingga menemukan belokan ke kanan. Namun, kalian jangan belok ke kanan, akan tetapi kalian harus belok ke gang sempit di sisi kiri, yang ditandai dengan adanya pos warga. Disitu kalian akan diminta untuk memberi sumbangan seikhlasnya.
Dari jalan masuk tadi, kalian tinggal mengikuti jalan saja. Nanti akan ada jalan setapak dua lajur lagi yang akan membawa kalian ke arah pantai. Dari Pantai Buyutan menuju Pantai Banyutibo dibutuhkan waktu sekitar 20 menit saja. Beberapa meter sebelum mencapai area parkir, kalian akan disambut birunya Samudra Hindia dan deburan ombak yang seolah memanggil kalian untuk segera turun atau berfoto ria.
Pantai ini lebih terkembangkan jika dibandingkan dengan Pantai Buyutan. Ada penjual makanan dan camilan di beberapa bagiannya. Menurut salah satu penjaga toilet, kami bisa juga menyewa perahu untuk mengarungi Sungai Maron kepada salah satu orang yang ada di situ. Namun, karena saat itu Sungai Maron mongering akibat kemarau, kami mengurungkan niat kami.
Pantai Banyutibo adalah pantai yang unik karena memiliki air terjun yang bersumber dari sungai di dekatnya. Pantai serta air terjun itu juga berada di bawah, seperti halnya Pantai Buyutan. Untuk bisa main-main ke bawah air terjun ini, kami harus menyewa tangga sekaligus guide dari warga sekitar yang memang standby di area pantai untuk membantu para wisatawan yang mau turun kesana.
Baca juga:
TRAVELING SERU KE AIR TERJUN TANCAK JEMBER
Saat itu, kami meminta bantuan kepada seorang bapak yang usianya mungkin sekitar 50-an. Kepadanya, kami menjelaskan bahwa kami ingin ditemani untuk turun ke pantai. Bapak itu mengambil tangga, menempatkannya di atas pasir, lalu turun terlebih dahulu. Setelah berada di bawah, dia memegang tangga dan membiarkan kami berdua turun. Sementara kami bermain air, bapak itu menunggu di dekat tangga.
Agak di samping tangga tadi terdapat air terjun yang menggerojok dengan lumayan deras. Kami tak menyia-nyiakan waktu dan langsung bermain dengan air terjun yang rasanya segar, bergantian dengan bermain air laut yang asin dan berguling-guling di pasir. Pokoknya, mantap sekali. Keseruannya sangat lengkap.
Rupanya di sebelah kiri air terjun terdapat sebuah tangga lagi yang akan membawa kami ke semacam gua kecil di pinggir pantai. Kami sempatkan untuk naik. Tapi memang harus hati-hati karena banyak lumutnya. Setelah puas mengeksplorasi gua, kami kembali ke bawah. Asyiknya, setelah selesai bermain air laut, kalian bisa langsung membasuhnya dengan air terjun yang tawar.
Puas bermain air, kami memberitahu bapaknya. Setelah naik, kami memberi uang IDR 20.000 sekedar untuk ucapan terima kasih.
Pantai Banyutibo ini sebenarnya sangat luas. Kata bapak tadi, beberapa kali ketika ombak tinggi, beberapa bule juga mampir ke sini untuk surfing meskipun jumlahnya tak sebanyak yang mengunjungi Pantai Watu Karung.
Di balik jajaran warung, ternyata masih ada lapisan karang yang terlihat karena air belum pasang. Kami mencoba menelusuri lapisan karang tersebut, dan ternyata ada pantai pasir agak tersembunyi dari pandangan. Kami sempatkan untuk berfoto saja karena kami sudah cukup bermain air tadi.
Puas mengeskplorasi, sekitar jam 12 kurang, kami segera cabut. Kami tidak ganti baju dengan asumsi bahwa baju kami akan kering dengan sendirinya selama perjalanan bermotor nanti. Dan nyatanya memang demikian. Belum sampai ke tujuan berikutnya, baju kami sudah hampir kering sepenuhnya.
Dari arah Pantai Banyutibo ini, kami menyusuri jalan yang bersebelahan dengan Sungai Maron. Sayangnya sungai itu sedang kering, kalau tidak pasti sangat indah, berwarna hijau kebiruan seperti di foto-foto.
Kami sampai di suatu pertigaan yang agak besar dan menemukan petunjuk jalan lagi. Ada dua panah yang berbeda, yaitu ke arah Pantai Watu Karung dan Pantai Klayar. Karena ingin menyimpan Pantai Klayar untuk yang terakhir, kami yang juga tidak tahu mana yang lebih dekat, memilih untuk menuju ke Pantai Watu Karung. Sepanjang perjalanan itu, kami mendapati banyak petunjuk jalan ke arah Pantai Watu Karung disertai dengan gambar ombak surfing. Jadi, memang tempat ini yang paling terkenal sebagai tempat surfing di kalangan para bule.
Beberapa meter sebelum mencapai Pantai Watu Karung, ada pantai lagi yang berisi banyak perahu nelayan. Kami berencana untuk mampir nanti sepulang dari Pantai Watu Karung. Pantai Watu Karung ini letaknya lumayan dekat dengan kompleks rumah warga. Kami masuk melalui gang kecil dan menitipkan motor di salah satu rumah warga yang memang merupakan parkir resmi. Ketika kami tiba di pantai ini, jam sudah menunjukkan sekitar 12.30.
Di pantai ini, kami tidak bermain air karena ombaknya besar dan panasnya sangat menyengat. Kami memutuskan untuk sedikit beristirahat. Kami juga salat di sebuah musala kecil yang ada di belakang deretan warung penjual makanan. Selesai salat, kami makan indomie goreng dua porsi untuk mengganjal perut.
Dibandingkan dengan pantai lain, memang pantai ini paling banyak bulenya. Di warung yang kami singgahi, juga ada dua bule. Di warung lainnya, juga tampak beberapa bule. Dan itu belum termasuk bule-bule yang sedang surfing di laut.
Karena merasa sedikit kelelahan, kami beristirahat lumayan lama di warung tersebut. Setelah puas beristirahat dan bernarsis ria di beberapa titik, kami cabut. Seperti rencana sebelumnya, kami mampir ke pantai yang berisi kumpulan perahu tadi.
Rupanya, pantai tersebut merupakan muara dari Sungai Cokel. Di sebelah kiri pantai, memang terdapat sungai yang tampak hijau indah. Tak jauh dari situ, ada sebuah jembatan kecil yang segera kami manfaatkan untuk bernarsis ria. Sumpah, dilihat dari jembatan ini, sungai ini terlihat sangat indah dengan deretan pohon kelapa di tepi sungai.
Sekitar pukul 14.00, kami meninggalkan tempat tersebut dan mengikuti petunjuk jalan menuju ke Pantai Klayar. Inilah kelemahan traveling tanpa itinerary. Kami tidak tahu bahwa jalan yang harus dilalui jika menuju Pantai Klayar langsung dari Pantai Watu Karung sangatlah terjal. Padahal, jika kembali ke pertigaan dekat Pantai Banyu Tibo tadi, jalannya cukup landai dan mudah dilalui. Jalan yang kami lewati ini sempat membuat kami kewalahan, apalagi kondisi motor juga tidak terlalu baik. Jalan curam harus kami lalui dan suami sempat takut karena rem motor dan mesinnya tidak dalam kondisi prima. Aku pun turun dari motor dan berjalan ketika menemui sebuah turunan curam yang disambung belokan. Akhirnya, dengan selalu membaca doa dan penuh kehati-hatian, suami berhasil menuruni turunan tersebut. Ada baiknya, kalian kembali ke titik pertigaan Pantai Banyu Tibo tadi untuk menghindari jalan yang kurang bersahabat ini.
Kami sampai di Pantai Klayar sekitar pukul 14.30. Pantai ini adalah yang paling ramai jika dibandingkan pantai-pantai sebelumnya. Dan, karena ombaknya sangat besar, Pantai Klayar bukan tempat untuk berenang atau bermain air.
Tempat ini terkenal karena bentukan batunya yang menyerupai Spinx. Selain itu, ada yang namanya "Seruling Samudra", yaitu curahan air dari celah batu yang menimbulkan suara melengking. Namun, kami tidak mendapati hal tersebut ketika ke sini. Air sudah lumayan tinggi sehingga kami bahkan tidak bisa menyentuh daerah berbatu di tepi pantai. Para penjaga pantai mengawasi dan menegur siapapun yang mencoba mendekat ke daerah berbatu ini.
Di pantai ini, banyak keluarga yang membuat tenda pada hari Minggu. Fasilitas wisata juga lebih lengkap. Kalian bisa menyewa motor ATV untuk mengelilingi pantai.
Selesai mengeksplorasi daerah pantai, kami coba naik ke daerah yang lebih tinggi. Rupanya, tempat ini memang disediakan bagi siapapun yang ingin menikmati landscape pantai secara lebih luas. Ada beberapa tempat duduk dan menyenangkannya, tidak begitu banyak orang di sini.
Setelah puas menikmati pantai dari atas, kami turun. Kami sempatkan makan lagi karena rupanya indomie yang kami makan tadi tak memberi kekenyangan yang lama. Makanannya lumayan murah juga. Kami meninggalkan pantai sekitar pukul 16.00.
Sesampainya di homestay, kami langsung salat dan tidur. Dan rencana untuk keliling sekitar Pantai Teleng Ria kami batalkan.
Sehabis maghrib kami keluar kamar. Rencananya kami mau makan malam di warung di sebelah homestay kami. Dan pada waktu itu, kami ketemu bule yang kemarin satu bus dengan kami. Rupanya, dia menginap di sini juga. Kami sempatkan untuk mengobrol dengan bule yang rupanya fasih berbahasa Indonesia itu. Selesai mengobrol dan makan, kami masuk ke kamar dan tidur karena harus menyiapkan tenaga untuk esok hari.
Artikel terkait:
TRAVELING MURAH BANYUWANGI, TABUHAN, DAN BALURAN 3 HARI DUA MALAM (3D2N): HARI PERTAMA (17 APRIL 2016)
TRAVELING SERU KE AIR TERJUN TANCAK JEMBER
Tidak ada komentar:
Posting Komentar