Mengejar Sunrise di Pantai Teleng Ria
Pada hari kedua kami di Pacitan, kami ingin mengejar sunrise di Pantai Teleng Ria. Pagi-pagi sekali setelah salat Subuh, bahkan sebelum mandi, kami segera cabut dari Araya Homestay ke arah pantai. Kami membayar IDR 10.000 per orang (per Oktober 2014) untuk masuk ke pantai. Rupanya, pantai sudah mulai ramai. Ketika tiba di pantai, matahari sudah ada di horison. Kami segera saja menikmati momen-momen itu. Begitu momen sunrise berlalu, kami segera memanfaatkan waktu untuk bernarsis ria.
Baca juga:
REVIEW ARAYA HOMESTAY, PILIHAN PENGINAPAN MURAH DI PACITAN
Suasana di depan Araya Homestay |
Puas mengeksplorasi pantai, kami menaiki motor kami menuju ke sisi lain dari pantai tersebut. Di kejauhan, kami melihat ada jembatan kecil. Ternyata, di samping jembatan itu, ada muara sungai yang langsung mengalir ke laut. Dari jembatan itu juga, kami bisa menikmati pemandangan Pantai Teleng Ria dengan lebih indah.
Muara sungai di dekat Pantai Teleng Ria |
Narsis di Depan Rumah Kediaman SBY
Sekitar pukul enam lebih, kami keluar dari daerah pantai. Kami ingin menikmati udara kota Pacitan di pagi hari. Masih sangat sepi. Kami ingat, dalam perjalanan dari terminal ke homestay kemarin, kami melihat sekilas ada rumah kediaman SBY di suatu tempat. Kami pun mencarinya dan menemukannya dengan mudah. Memang, ternyata lokasinya sangat dekat dengan terminal. Kami sempatkan untuk berfoto di rumah kediaman SBY tersebut, meskipun memang ini bukan rumah SBY yang jadul.
Rumah Kediaman SBY |
Selesai berfoto, kami kembali ke homestay. Kami segera mandi karena kami harus melanjutkan perjalanan lagi yang kali ini akan kami fokuskan untuk mengunjungi pantai-pantai di sisi timur Pacitan. Semalaman, kami sudah sempat browsing dan mendaftar beberapa nama pantai yang ingin kami kunjungi, antara lain Pantai Soge dan Pantai Taman.
Mampir Sebentar ke Pantai Pancer Dorr
Keluar dari Pantai Teleng Ria, kami menemukan panah ke arah Pantai Pancer Dorr. Entah pantai apa itu. Karena penasaran dan kebetulan lokasinya dekat, kami memutuskan untuk mampir. Kami membayar tiket IDR 4.000 per orang (per Oktober 2014). Pantainya memiliki ombak yang sangat besar. Tak cocok untuk berenang. Sudah ada beberapa pengunjung dan pedagang di sekitar situ. Yang paling menarik adalah deretan cemara udang yang tumbuh rapat, yang oke untuk bernarsis ria.
Pohon cemara udang |
Perjalanan Menuju Pantai Sisi Timur Kota Pacitan
Kami cuma sebentar di sini karena harus melakukan perjalanan selanjutnya ke pantai sisi timur. Sebenarnya, untuk menuju ke gugusan pantai di sebelah timur ini, ada dua jalan yang bisa ditempuh. Dari arah Pacitan, di Pasar Arjowinangun, ada pertigaan. Keduanya akan membawa kalian ke pantai-pantai tersebut. Kami baru tahu kemudian setelah pulang, bahwa jika kami belok kanan, ke arah Jl. Ki Ageng Buwono Keling, jaraknya akan lebih pendek dan pemandangannya juga lebih bagus. Namun, karena tidak tahu, kami memilih untuk lurus.
Melewati jalan ini, kami lebih banyak dihadapakan dengan jalan yang membelah hutan. Namun, keindahannya juga tetap oke, walaupun jaraknya sedikit lebih jauh. Ada beberapa panah petunjuk ke arah pantai-pantai yang tak kami kenal namanya selama perjalanan tersebut.
Warga lokal yang menumpang di mobil bak terbuka |
Jalan menuju pantai sebelah timur kota Pacitan |
Menikmati Debur Ombak di Pantai Soge
Kami tidak berhenti dan akhirnya sekitar pukul 11.00, kami menemukan sebuah pantai yang ternyata juga masih bagian dari Pantai Soge yang luas. Sayangnya, pantai ini sedikit kotor.
Keluar dari pantai itu, kami menemukan jembatan yang bagus, yang rupanya adalah Jembatan Soge 2. Kami sempatkan untuk berfoto di situ. Dan rupanya, sungai yang mengalir di bawah jembatan itu bermuara tak jauh dari situ, mengalir langsung ke arah laut Pantai Soge. Selesai berfoto, kami meneruskan perjalanan dan rupanya Pantai Soge yang sebenarnya ada di depan kami.
Jembatan Soge 2 |
Spot foto paling oke adalah di daerah tikungan jalan, dimana kita bisa melihat pemandangan pantai Soge secara luas dari titik yang lebih tinggi. Kami mampir ke dalam kawasan Pantai Soge tanpa membayar tiket sama sekali. Sayangnya, kami tak bisa bermain air. Kami hanya bisa menikmati pemandangan dan debur ombak karena memang lokasinya berbahaya. Ombaknya besar dan bergulung-gulung.
Keluar dari Pantai Soge, kami menyusuri jalanan lagi. Lapar, kami memutuskan untuk makan di sebuah warung yang ada di dekat pantai.
Naik Perahu Bebek di Bagian Lain Pantai Soge
Ketika kembali ke jalan, tak seberapa jauh dari pantai tadi, kami menemukan pantai lain yang cukup unik. Ada tiga lapisan yang bisa kami lihat dari arah jalan: sungai, pasir, laut. Suasana sekitarnya juga rimbun dengan pohon kelapa. Di situ juga banyak penjual. Baru kami tahu bahwa pantai ini juga masih termasuk bagian dari Pantai Soge.
Kami masuk ke wilayah tersebut dan memarkir motor di tempat parkir resmi. Kami lihat beberapa orang menyeberangi sungai dengan berjalan kaki ke arah pasir di tengah karena memang ternyata sungainya tak begitu dalam. Karena malas basah, suami pun menyewa perahu bebek yang bisa dikayuh dengan biaya sewa IDR 10.000 untuk 15 menit. Kami menyewa untuk 30 menit agar puas.
Berdua kami mengayuh perahu bebek itu ke tengah sungai hingga menyentuh pasir di tengah. Di situ, kalian akan mendapatkan background foto yang super keren. Kami turun ke arah pasir bergantian karena takut perahunya akan bergerak sendiri. Kami juga turun ke muara sungai yang memang hanya setinggi betis itu.
Puas mengeksplorasi, kami mengayuh perahu kembali ke tempat kami menyewa tadi. Kami segera cabut untuk menjemput keindahan di pantai selanjutnya, entah apa. Sepanjang perjalanan kami juga sering berhenti karena ingin berfoto dengan banyak background yang bagus.
Mampir Sebentar ke Pantai Laut Anakan
Sekitar pukul 12.00, kami menemukan panah ke arah Pantai Laut Anakan. Kami pun mengikuti petunjuk tersebut. Kami masuk ke sebuah gang yang sudah beraspal, dan menemukan sebuah pantai yang penuh dengan kapal yang bersandar. Banyak nelayan juga di sekitar situ. Rupanya, tempat itu memang tempatnya para nelayan menyadarkan kapalnya. Kami sedikit mengambil foto kemudian kembali ke jalan utama.
Bermain dengan Penyu di Pantai Taman
Selanjutnya, kami menemukan petunjuk ke Pantai Taman, yang memang sudah masuk daftar kami. Menuju ke pantai ini memang sedikit menggalaukan. Kami masuk ke sebuah gang yang jalannya masih belum beraspal, alias masih tanah. Debu ada dimana-mana. Di kiri kanan kami adalah halaman belakang rumah orang. Begitu melihat sebuah gerbang kecil, kami baru tahu kami berada di jalan yang benar.
Kami membayar IDR 13.000 untuk berdua. Tiket ini juga termasuk untuk melihat penangkaran penyu yang ada di sisi lain dari pantai tersebut. Kami hanya sebentar bermain di pantai yang juga berombak besar itu, dan lebih tertarik untuk melihat penyu.
Selama berjalan ke arah penangkaran, kami juga melihat bahwa ada kolam renang yang sepertinya berisi air tawar. Yang berenang di situ adalah anak-anak kecil. Di atas, juga terlihat tali yang digunakan untuk flying fox, yang usut punya usut ternyata merupakan salah satu flying fox terpanjang di Indonesia. Tapi kami tak tertarik untuk mencoba. Kami lanjut melihat penyu. Ada yang masih kecil-kecil di tempat yang lebih tertutup. Ada juga yang sudah besar, yang ditempatkan di kolam terbuka.
Puas bermain dengan penyu, kami cabut dan melanjutkan perjalanan. Kami sebenarnya sudah sangat capek. Inginnya, kami langsung menuju ke Pacitan Kota saja.
Dalam perjalanan pulang itu, kami menemukan gerbang bertuliskan “tempat pendaratan ikan air dangkal” yang tentu saja cukup menarik. Di balik gerbang itu, ada jalan setapak yang sudah hancur di sana sini. Kami berbelok ke situ. Sayangnya, kondisi jalan yang hancur itu membuat ban kami terperosok dan ban yang sudah tipis itu kondisinya sangat mengkhawatirkan. Takut ban tersebut bocor, kami mengurungkan niat kami dan melanjutkan perjalanan kembali ke kota.
Mengejar Sunset di Pantai Srau
Kami mampir ke homestay dulu untuk sekedar beristirahat, salat, dan membersihkan diri. Sembari istirahat, suami browsing di internet dan menemukan bahwa ada satu pantai yang terlewat di sebelah barat, yaitu Pantai Srau. Selepas asar, kami keluar homestay lagi, dan bergegas menuju ke pantai tersebut.
Kami menempuh jalan yang berbeda dari kemarin. Kali ini, kami menggunakan jalan yang dilewati bus Pacitan – Solo. Kami hanya mengikuti jalan utama saja dan melihat petunjuk jalan yang memang lengkap. Kami ingat jalannya mulai mengecil dan ada percabangan. Kami memilih yang ke kiri, yang merupakan jalan ke Pantai Srau.
Tak sulit menemukan pantai ini karena memang hanya tinggal melewati jalan yang beraspal bagus walaupun tak begitu luas. Dan, memang jalannya banyak naik turun serta banyak batu-batuan besar yang agak mengerikan di tepi jalan. Kami sampai di sebuah bukaan pantai yang bagus. Kami berfoto-foto dan bermain pasir di situ. Rupanya Pantai Srau ini memiliki banyak bagian menarik.
Kami melewati jajaran pohon kelapa di sisi jalan dan menemukan bukaan pantai lagi yang memiliki lengkungan laut (sea arch) di sisi kiri. Kami berfoto di situ, tapi memang harus hati-hati karena ombak yang datang lumayan bergulung. Agak ke tengah laut, tampak tiga gundukan laut (sea stacks) yang bagus untuk background foto.
Selesai berfoto di situ, kami cabut dan sampai di bukaan pantai yang ketiga. Rupanya, di situ ada beberapa orang yang sedang menunggu sunset. Suami bahkan sempat naik ke bebatuan yang di baliknya ada sebuah pantai tersembunyi.
Aku memilih untuk bermain pasir sambil menunggu matahari terbenam. Lama sekali kami menunggu, hingga akhirnya matahari perlahan bergerak menuju horison. Sayangnya, banyak mendung di dekat horizon. Kami memutuskan untuk cabut sebelum matahari sepenuhnya menyentuh horison. Takut kami tak punya cahaya tambahan ketika pulang melewati jalanan yang sempit tadi.
Benar saja, ketika sampai di jalur bus, cahaya matahari sudah sepenuhnya hilang. Alhamdulillah, kami bisa sampai homestay dengan lancar dan selamat. Segera, kami mandi, salat, dan beristirahat.
Rencana Pulang ke Surabaya yang Mendadak
Membeli Tiket Bus Dadakan
Kami duduk-duduk di depan kamar dan bule yang kemarin muncul lagi. Suamiku bercakap dengan dia yang memang Bahasa Indonesia-nya sudah sangat cas cis cus. Rupanya, si bule mau pulang hari itu. Suami bilang kami pulang besok saja karena memang masih mendapat cuti untuk hari Senin. Namun, si bule bilang, kalau pulang Senin entah pagi atau siang, kemungkinan besar akan macet. Yang paling oke adalah perjalanan malam hari karena dingin dan sepi.
Dia ternyata juga sudah memesan tiket pulang. Rupanya, dia ini sudah berkali-kali ke Pacitan, dan sudah sangat ahli. Untuk ke Surabaya, kita harus booking kursi dulu agar bisa dapat tempat duduk. Untuk pesan, kami harus datang ke kantornya langsung. Dari bule itu, kami mendapat alamat lengkap kantor bus tempat kami bisa memesan tiket bus.
Tiket bus Pacitan – Surabaya milik si bule |
Akhirnya kami langsung memutuskan untuk segera kesana saat itu juga, takut kehabisan tiket mengingat saat itu sudah hari H dan tinggal hitungan jam lagi bus akan berangkat. Sesuai jadwal, bus berangkat sekitar jam 22.00.
Rupanya, kami sedang beruntung saat itu. Kami dapat tiket yang merupakan dua tiket terakhir di bus itu. Katanya, sebenarnya tiket tinggal satu tapi baru saja ada yang cancel. Sebenarnya, tanpa tiket pun kami masih bisa naik. Tapi ya, tanpa tempat duduk seperti waktu berangkat. Dengan tiket, selain dapat tempat duduk sesuai nomor, kami juga dapat satu botol air mineral 600 ml. Lumayan, kan?
Berangkat Pulang ke Surabaya dengan Bus
Tiket sudah di tangan tapi kami masih belum tahu mau naik apa ke terminal. Rencananya kan kami mau pulang pagi jadi bisa SMS bapak sopir ojeknya. Tanpa diduga, mas-mas penjaga homestay yang baik hati mau mengantarkan kami ke terminal yang sebenarnya jaraknya tidak terlalu jauh. Tapi, waktu itu dia harus melewati gang-gang sempit karena harus membonceng dua orang sekaligus (biar enggak bolak-balik, wkwkwkwk).
Kami tiba di terminal dengan selamat sekitar pukul 20.30. Masih satu jam lebih, tapi tidak apa daripada mepet-mepet. Kami sempat mbambung gak jelas di terminal. Sekitar sejam kemudian semua penumpang bisa masuk dan saat itulah kami bertemu lagi dengan si bule yang baik hati itu. Tak berapa lama setelah naik bus, aku terlelap. Memang sengaja menidurkan diri agar tak perlu senam jantung saat bus harus meliuk-liuk di jalanan. Hahaha.
Artikel terkait:
PERJALANAN TAK TERENCANA KE PULAU BALI 4 HARI 3 MALAM (4D3N): HARI PERTAMA (14 FEBRUARI 2014)
TRAVELING MURAH BANYUWANGI, TABUHAN, DAN BALURAN 3 HARI DUA MALAM (3D2N): HARI PERTAMA (17 APRIL 2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar