Sekitar pukul empat pagi kami bangun dan mulai bingung bagaimana kami harus salat: apakah waktunya cukup kalau kami harus salat di atas kapal, ataukah kami harus salat sebelum tiba di stasiun terakhir, atau apakah kami bisa meminta ijin untuk salat di stasiun terakhir tanpa ditinggal bus Damri-nya. Di sela-sela kegalauan, aku mencoba untuk wudu di dalam kereta dengan pertimbangan bahwa nanti hal ini bakal menghemat waktuku seandainya kami memang bisa salat di musala stasiun.
Tapi nyatanya, saat kami tiba, petugas dari Damri (tidak memakai seragam) yang menunggu di pintu keluar langsung menyuruh penumpang yang lanjut ke Denpasar untuk berkumpul. Tak berapa lama, karena jumlah penumpang sedikit–kalau tidak salah hitung waktu itu hanya ada 12 orang penumpang termasuk kami–petugas segera memberi tahu kami bahwa kami harus masuk ke angkot yang telah disiapkan pihak Damri di halaman stasiun.
Petugas Damri |
Halaman depan Stasiun Banyuwangi Baru |
Tampak depan Stasiun Banyuwangi Baru |
Angkot? Aku cukup heran tapi tidak berani bertanya. Lagipula kejadiannya begitu cepat. Berdasarkan informasi yang aku cari di artikel-artikel di internet, dan dari hasil bertanya ke petugas stasiun beberapa hari sebelum keberangkatan, bus Damri semestinya akan menunggu penumpang di halaman Stasiun Banyuwangi Baru, lalu kami tinggal naik, dan bus akan menurunkan kami di Denpasar. Tapi kenapa begini jadinya?
Setelah semua penumpang naik, angkot segera berjalan, dan lima menit kemudian kami telah sampai di Pelabuhan Ketapang. Kami menunggu sejenak dan petugas dari Damri muncul kembali menghampiri kami. Dia menyuruh kami mengikutinya ke loket, membelikan kami masing-masing tiket masuk, dan membantu kami melewati pintu pemeriksaan tiket dengan memindaikan tiket ke mesin pemindai di pintu masuk.
Proses pemindaian tiket oleh petugas Damri |
Setelah itu kami berjalan mengikuti petugas tadi dan masuk ke kapal feri yang telah siap siaga di dermaga. Yang ada di pikiranku dan suami saat itu hanyalah bisa segera salat Subuh. Masalah naik angkot dll tadi masih kami simpan dalam tanda tanya.
Akhirnya kami salat Subuh bergantian. Jadi bagi kalian yang memilih cara ini untuk ke Bali, kalian tidak perlu khawatir tidak bisa salat karena waktu subuh akan kalian lalui di atas kapal. Jadi tidak perlu panik bakal salat di kereta atau bus.
Kapal berangkat sekitar pukul 4.45 WIB. Aku dan suami yang awalnya duduk di dalam kapal keluar dan duduk-duduk di luar sambil menikmati angin yang semilir sambil menanti matahari terbit.
Dan lambat tapi pasti matahari pun mulai memperlihatkan cahayanya. Sedikit demi sedikit, hingga akhirnya menjelang sampainya kapal di Pelabuhan Gilimanuk, matahari benar-benar memperlihatkan dirinya.
Suasana di dalam kapal feri |
Sunrise |
Kapal sampai di Pelabuhan Gilimanuk pukul 5.45 WIB. Pada saat menunggu pintu dibuka itulah aku bertanya kepada seorang cewek yang ternyata orang asli Bali yang sudah terbiasa naik kereta api dengan tiket terusan ini. Berdasarkan informasi dari dia, memang biasanya bus Damri telah stand-by di depan Stasiun Banyuwangi Baru. Dari pengalamannya, biasanya penumpangnya tidak sesedikit ini. Jadi dia dengan mudah menyimpulkan bahwa proses naik busnya diganti di Gilimanuk karena terlampau sedikitnya penumpangnya guna memangkas biaya operasional kereta api.
Kami semua berjalan menuju ke halaman depan pelabuhan dimana bus Damri telah menunggu kami. Setelah semua penumpang masuk bus, bus berangkat.
Tak jauh dari pintu keluar, kami tiba di suatu gerbang di mana bus itu berhenti sejenak. Seorang petugas di pintu itu menyuruh penumpang keluar sambil memperlihatkan KTP masing-masing. Petugas itu tidak begitu serius dalam memeriksa sehingga terkesan pemeriksaan ini hanya formalitas saja.
Sekitar pukul sembilan waktu setempat bus berhenti di sebuah rumah makan muslim bernama Madina. Kami makan dan tak lupa untuk buang air kecil. Makanannya lumayan mahal. Misal untuk makananku yang hanya menggunakan lauk ayam dengan ukuran yang sangat kecil ditambah sayur sop dan minum segelas teh hangat, aku harus membayar IDR 25.000.
Perjalanan berlangsung sangat lama. Dan itu wajar karena jarak yang harus kami tempuh untuk menuju ke Denpasar memang sangat jauh. Akhirnya sekitar pukul 12.30 WITA, bus berhenti di jalan menuju Terminal Ubung. Bus tidak masuk terminal dan penumpang yang ingin turun di Terminal Ubung memang mau tidak mau harus turun di situ. Bagi yang ingin melanjutkan ke Padang Bai untuk menuju ke Lombok bisa oper transportasi lain di sini juga.
Di sepanjang jalan sekitar tempat kami turun ada banyak taksi dan angkot yang telah stand-by. Kami dari awal memang menjadikan angkot sebagai alternatif kedua karena pasti akan sangat lambat dan melelahkan. Apalagi setelah dari sini masih harus oper lagi di Terminal Mengwi, baru kemudian turun di Kuta.
Kami didatangi sopir taksi dan karena perkiraan harga ke Kuta lumayan mahal, yaitu sekitar IDR 120.000, kami tidak jadi naik taksi.
Akhirnya kami berjalan cukup jauh sampai keluar dari area sekitar Terminal Ubung dan memesan Uber. Perlu diketahui, karena terjadi hubungan yang panas antara angkutan umum dan angkutan online , jika menginginkan naik Uber dan sebangsanya, kalian memang harus keluar terlebih dahulu dari area mereka guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Lagipula, jika kalian memesan dari sekitar area terminal, sopir angkutan online pasti akan menolak atau menyuruh kalian berjalan meninggalkan area itu terlebih dahulu.
Akhirnya Uber pesanan kami datang dan setelah perjalanan yang terasa sangat lama, si sopir menurunkan kami di gang Popies Lane 2, tepat di depan gang yang lebih kecil tak bernama yang mengarah ke hotel kami, La Mulya Legian Hotel atau di internet juga disebut sebagai La Mulya Guest House. Kami berjalan menurut panah petunjuk dan sekitar 300 meter ke depan kami telah menemukan hotel kami.
Gang tempat kami menginap |
Bagian Depan La Mulya Legian Hotel |
Proses check-in berjalan cukup cepat dan kami segera bisa masuk ke kamar kami. Setelah meletakkan barang-barang, mandi, dan salat, kami berniat mencari persewaan sepeda motor. Tapi ternyata hotel ini juga menyediakan persewaan untuk para penginap. Sekali lagi, motor di La Mulya Legian Hotel ini hanya disewakan kepada penginap. Karena kami hanya menginap dua hari, kami cuma bisa menyewa dua hari. Saat kami mencoba menawarnya menjadi 4 hari, petugas tidak memperbolehkan.
Baca juga:
TIPS SEWA MOTOR DI KUTA UNTUK KELILING BALI
Tarif untuk satu hari cukup mahal, yaitu IDR 70.000. Tapi karena menyewa dua hari kami mendapat harga IDR 60.000/hari. Jika menyewa 4 hari/lebih bisa mendapatkan harga IDR 50.000/hari. Tapi tak apalah, yang penting kami tidak harus berjalan kaki untuk mencari persewaan di luar sana. Lagipula, motor yang kami sewa, Scoopy, masih berusia 1 tahun dan dalam kondisi yang sangat bagus dan prima. Oh iya, petugasnya berpesan bahwa saat kembali bensinnya harus penuh karena saat dipakai juga penuh.
Scoopy |
Akhirnya, setelah memberikan KTP sebagai jaminan, kami segera cus memulai petualangan kami hari itu. Sesuai itinerary, kami akhirnya ke Pantai Kuta. Huft... jalanan di sepanjang Pantai Kuta sangat macet. Kami juga kesulitan mencari tempat parkir karena di mana-mana parkirnya penuh. Entah sehari-sehari juga penuh seperti ini atau mungkin ini juga efek acara yang saat itu tengah berlangsung di Kuta, yaitu Kuta Seasand Land. Kami juga tidak tahu itu acara permanen ataukah cuma sementara. Kami belum sempat bertanya ke siapapun.
Kami hanya sebentar di Pantai Kuta karena saat itu sekitar jam dua WITA dan suasananya memang sedang panas-panasnya. Akhirnya kami memutuskan untuk langsung cabut ke Tanah Lot saja. Namun, sebelum itu, kami sempatkan untuk makan lalapan terlebih dahulu dalam perjalanan ke sana di sebuah warung Sunda.
Lokasi Tanah Lot lumayan jauh dari Kuta. Karena petunjuk arah sangat terbatas, kami selalu menyalakan GPS di ponsel kami. Dengan kondisi jalan yang macet di beberapa titik, kami menempuh perjalanan sekitar satu setengah jam.
Kami tiba di sana saat Asar. Dan Alhamdulillah, di sekitar tempat parkir yang paling ujung, yang paling dekat dengan lokasi wisata, terdapat sebuah rumah yang menyediakan toilet berbayar sekaligus tempat salat.
Toilet dan tempat salat di kompleks Tanah Lot |
Selesai salat, kami langsung memarkir motor di tempat parkir yang berada tepat di depan rumah yang ada tempat salatnya itu. Lalu kami berjalan melewati stan-stan suvenir hingga akhirnya kami sampai di gapura yang mengarahkan pengunjung ke lokasi wisata. Dan mulailah kami mengeksplorasi tempat itu sambil menunggu matahari terbenam.
Stan-stan suvenir di kanan kiri jalan |
Pura Tanah Lot |
Pura Batu Bolong |
Pengunjungnya lumayan banyak apalagi saat menjelang matahari terbenam. Kami memilih lokasi di sekitar Pura Batu Bolong. Semua orang telah bersiap-siap di pinggiran tebing untuk menyaksikan salah satu keindahan ciptaan sang Pencipta tersebut dengan membawa ponsel dan kamera masing-masing untuk mengabadikannya. Meskipun ada sedikit awan di atas horison, sunset sore itu tetap terlihat begitu indah.
Pengunjung semakin membludak menjelang sunset |
Pura Batu Bolong saat sunset |
Saat matahari telah benar-benar hilang, kami turun ke arah Pura Tanah Lot untuk sekadar berfoto-foto. Setelah itu kami kembali ke tempat salat tadi, melaksanakan salat Magrib, lalu mengambil motor di tempat parkir, dan kembali ke hotel.
Sesampainya di hotel, kami beristirahat sejenak, setelah itu mandi, dan salat. Setelah rasa lelah kami hilang, kami memutuskan untuk mencari makan malam dengan berjalan kaki.
Waktu itu sekitar pukul setengah sembilan waktu setempat dan saat melewati jalan Legian Kaja, suara dentuman musik dari pub-pub yang ada di sepanjang jalan itu terdengar sangat kencang. Kami berjalan terus dan berbelok di salah satu gang dengan sepintas lalu, dan menemukan ada sebuah warung muslim (penjualnya berjenggot jadi kami memutuskan dia muslim, dan ternyata memang benar) dan kami memesan lalapan dengan lauk ikan.
Suasana malam di Jalan Legian Kaja |
Setelah perut kenyang, kami melanjutkan perjalanan ke arah pantai sambil membeli jagung bakar yang kami temui dalam perjalanan, yang harganya lumayan mahal, yaitu IDR 15.000/buah, yang tetap kami beli karena terlanjur tergiur oleh aromanya. Setelah itu kami duduk-duduk sambil mengobrol di dekat pantai, lebih tepatnya di depan Hard Rock Cafe, karena rupanya Pantai Kuta di malam hari sangat gelap dan tidak tepat untuk duduk-duduk sambil menikmati deburan ombak. Sekitar pukul dua belas dini hari kami kembali ke hotel dan tidur.
Artikel terkait:
PERJALANAN TAK TERENCANA KE PULAU BALI 4 HARI 3 MALAM (4D3N): HARI PERTAMA (14 FEBRUARI 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar