Menikmati Yogyakarta di Pagi Hari
Pagi itu, kami tak begitu dikejar-kejar waktu seperti kemarin. Selesai salat Subuh dan mandi, kami masih malas-malasan di kamar kami. Waktu itu juga kumanfaatkan untuk kembali mencicil packing karena kami sudah mandi sehingga peralatan mandi juga sudah bisa dimasukkan ke dalam tas.
Kami baru keluar pukul 06.00 dan langsung bergegas menuju ke Pasar Beringharjo. Rupanya, pasar belum buka dan berdasarkan jadwal, masih baru akan buka pukul delapan.
Menelusuri Gang-Gang di Kotagede
Suami mengusulkan untuk ke Kotagede lagi saja karena kemarin kami belum berhasil mencari tempat yang kuincar. Kami menyalakan GPS lagi dan segara bergegas menuju Kotagede. Setelah melewati jembatan Tegal Gendu, suami menoleh ke kanan dan melihat ada gang bernama Gang Soka. Aku segera membuka salah satu ulasan tentang Kotagede di internet dan mengetahui bahwa lokasi Rumah Pesik adalah di Gang Soka.
Petunjuk arah ke Gang Soka |
Bagian depan Gang Soka |
Segera kami berbelok ke situ dan tak seberapa jauh dari mulut gang, kami disambut rumah memanjang bercat hijau yang memang sedang kucari. Betapa senangnya hatiku. Segera aku mengambil foto rumah itu dari berbagai sudutnya.
Rumah R. Pesik |
Menyusuri gang itu, kami mendapatkan banyak spot foto yang bagus. Suasananya jadul sekali. Kami berhenti di sebuah bangunan terbuka, yang ternyata bernama Pos Malang. Pos ini melintang di antara Gang Soka dan Gang Tumenggungan. Di Gang Tumenggungan itu, juga banyak bangunan-bangunan jadul yang menarik.
Sebuah gang unik dan jadul |
Pos Malang |
Tepat di depan Pos Malang, terdapat petunjuk arah yang menempel di dinding bertuliskan “Omah UGM”. Aku pun penasaran dan masuk menyusuri gang super sempit itu. Jika ada motor yang mau lewat, aku harus menempel ke dinding gang.
Baca juga:
REVIEW OMAH UGM: MENIKMATI KEINDAHAN RUMAH ADAT JAWA SEKALIGUS MENGENANG KEDAHSYATAN GEMPA JOGJA
Gang menuju Omah UGM |
Sekitar 50 meter dari mulut gang, aku menemukan sebuah bangunan rumah adat Jawa. Omah UGM ini ternyata dalah milik Universitas Gadjah Mada yang dibeli oleh UGM pasca gempa Mei 2006. Sebelumnya, rumah ini adalah milik keluarga Parto Darsono. Kini, Omah UGM difungsikan sebagai Pusat Pergerakan Pelestarian dengan bangunan baru berupa pendopo di depan rumah adat tersebut.
Omah UGM |
Banyak titik di Omah UGM yang bisa dieksplorasi. Selain rumah adat dan pendopo, di bagian kanan atau timur pendopo terdapat bekas dinding yang roboh akibat gempa dan tetap dipertahankan seperti itu sebagai monumen pengingat gempa tersebut. Bagi kalian yang ingin berfoto dengan latar jadul, bisa juga lho mencoba ke sini.
Puas mengeksplorasi Omah UGM, aku kembali ke Pos Malang. Kebetulan, tadi memang suami tak berlama-lama di Omah UGM karena motor kami hanya kami parkir begitu saja di pinggir jalan di dekat Pos Malang.
Selesai mengeksplorasi Gang Soka dan sekitarnya, kami kembali ke luar ke jalan besar dan memutuskan untuk kembali ke Kampung Wisata Purbayan. Pasar yang kemarin juga masih tampak ramai, atau malah jauh lebih ramai karena aktivitas pasar memang lebih giat di pagi hari. Bahkan si penjual jajanan pasar juga masih dikerumuni orang. Kami hanya melintas sekilas sambil melihat beberapa bangunan yang juga jadul di sekitar situ.
Kampung Wisata Purbayan |
Menikmati Pagi di Malioboro
Puas mengeksplorasi Kotagede, kami memutuskan untuk kembali ke Malioboro. Dalam perjalanan itu, tepatnya di Jalan Brigjen Katamso, kami menemukan sebuah angkringan di pinggir jalan dan memutuskan untuk sarapan di situ saja. Beda dengan kemarin, nasi kucingnya lebih besar, mungkin dua kali lipat porsi kemarin. Harganya pun tepat dua kali lipatnya, yaitu IDR 3.000 per bungkus. Masing-masing dari kami hanya makan satu bungkus plus gorengan. Ditambah dua gelas teh hangat, kami hanya membayar IDR 12.000.
Sebuah angkringan di Jalan Bridgen Katamso |
Kenyang, kami langsung menuju ke arah Pasar Beringharjo. Kami memarkir motor di parkir resmi pasar tersebut kemudian berjalan ke arah pasar.
Suasana sekitar tempat parkir resmi Pasar Beringharjo |
Rencananya, aku ingin membeli miniatur candi-candi di sini. Tapi, anehnya, ketika aku masuk, yang ada di dalam pasar hanya penjual baju-baju saja. Aku sudah berkeliling kesana kemari, tapi tak menemukan satupun penjual suvenir.
Pasar Beringharjo |
Akhirnya aku bertanya kepada petugas dan dia malah bertanya kepada pak becak. Kata pak becak, kami bisa membeli suvenir di seberang jalan, tepatnya di depan Toko Terang Bulan. Di situ adalah pusat suvenir Malioboro. Aku akhirnya menuruti arah yang dijelaskan oleh tukang becak tadi.
Keluar dari pintu pasar yang berada di sisi Jalan Malioboro, aku disambut dengan pedagang pecel di trotoar yang ramainya minta ampun. Dari daftar harga yang terpampang, harganya memang sedikit mahal. Namun, jika belum terlanjur makan angkringan, aku tentu akan makan mencoba makan di situ. Selain penjual pecel itu, juga ada beberapa pedagang makanan dan jajanan yang baru mulai membuka lapaknya.
Penjual pecel di depan Pasar Beringharjo |
Dari pintu pasar itu, aku berjalan terus menuju ke arah Stasiun Tugu. Tiba di salah satu gang dengan gapura besar bertuliskan Kampung Ketandan, alih-alih meneruskan pencarian pusat suvenir, aku malah minta difoto. Wkwkwkwk. Habis gapuranya unik. Jadi, dilihat dari gapuranya, Kampung Ketandan ini adalah daerah pecinan. Tapi, kami memutuskan untuk tidak masuk.
Gerbang Kampung Ketandan |
Dan ternyata, di samping gerbang Kampung Ketandan itu ada beberapa penjual suvenir. Aku mendatangi salah satunya. Dan setelah mencoba melakukan penawaran, aku akhirnya membeli beberapa suvenir.
Tempat membeli oleh-oleh di Jalan Malioboro |
Selesai belanja, kami duduk-duduk dan bernarsis ria di bangku-bangku Malioboro. Pada jam segitu, Malioboro masih sepi. Bangku-bangku itu masih banyak yang kosong.
Suasana Jalan Malioboro di pagi hari |
Bingung mau ngapain untuk mengisi waktu sebelum pulang, kami memutuskan untuk cabut saja dari situ dan langsung menuju ke keraton. Tapi pada saat bersamaan, kami melihat angkringan lagi dan kemudian malah tergoda dan membeli dua gelas kopi. Hahaha.
Angkringan di Jalan Malioboro |
Selesai ngopi, kami mengambil motor di tempat parkir dan langsung berkendara menuju Keraton. Baru saja parkir, seorang petugas Keraton mendatangi kami dan menanyakan apakah kami ingin masuk keraton. Kemudian, dia meminta maaf karena lokasi akan digunakan untuk upacara 17 Agustus. Sementara itu, dia belum bisa memastikan apakah Taman Sari ditutup atau tetap dibuka.
Dari situ, kami lanjut ke Taman Sari. Masih akan memarkir motor, petugas parkir mencegat kami dan mengatakan Taman Sari ditutup untuk acara 17 Agustus. Ah, ya sudahlah. Sebenarnya, kedua tempat itu sudah pernah kami kunjungi dulu jauh sebelum memiliki blog. Kali ini, rencananya kami hanya ingin sekadar bernostalgia saja. Jadi, gagal masuk kali ini tidak terlalu merusak mood kami. Apalagi, pagi tadi kami sudah dapat banyak foto dan kenangan bagus di Kotagede. Agar tak pulang dengan tangan kosong, aku sempatkan berfoto di depan Masjid Keraton Soko Tunggal yang lokasinya tepat di depan pintu masuk ke Taman Sari.
Masjid Keraton Soko Tunggal |
Sembari pulang menuju ke arah homestay, kami memutuskan untuk membeli oleh-oleh dulu di Bakpia Pathok 99, masih anaknya Bakpia Pathok 25. Kata mbak penjualnya sih semua bahannya sama, cuma beda ukuran saja. Bakpia Pathok 99 ukurannya lebih kecil. Dan harganya pun juga hanya selisih sedikit: IDR 35.000 per kotak untuk Bakpia Pathok 25 dan IDR 30.000 per kotak Bakpia Pathok 99. Uniknya di tempat ini, kalian juga bisa melihat langsung pekerja yang sedang mencetak bakpia secara manual lho.
Para karyawan yang sedang membuat bakpia secara manual |
Dengan oleh-oleh di tangan, kami melanjutkan perjalanan ke arah homestay. Sesampainya di kamar, aku langsung melanjutkan packing, memasukkan yang tadi pagi belum sempat termasukkan. Rencananya, kami hanya menaruh barang saja di homestay untuk kemudian lanjut jalan-jalan. Tapi, apa daya, pesona kasur lebih menggoda. Apalagi saat itu sudah pukul sepuluh. Dua jam lagi sudah Zuhur. Jadi, kami memutuskan untuk istirahat saja, mempersiapkan diri untuk perjalanan yang panjang, lebih panjang dari kemarin karena rupanya kami butuh waktu lebih dari 6 jam untuk menuju Surabaya, beda dengan kemarin yang hanya 5 jam.
Makan dan Membeli Bekal di Angkringan di Gang Nitipuran
Pukul sebelas, perut yang tadi pagi terganjal nasi kucing sudah minta diisi lagi. Kami manfaatkan kesempatan makan siang terakhir di Yogyakarta ini untuk makan di angkringan dekat homestay. Kami naik motor langsung dan parkir di sebelah angkringan tersebut.
Ibu itu masih ingat rupanya. Kami segera menyerbu nasi kucingnya yang super enak itu. Lagi-lagi, habis banyak. Karena tak tahu harus membawa bekal apa untuk perjalanan kereta ke Surabaya, kami pun akhirnya membeli bekal nasi kucing dan gorengan dari angkringan ini. Suami iseng bertanya, apa ada sendok plastik yang bisa kami gunakan untuk makan di kereta.
Ibunya malah mengeluarkan dua sendok besinya yang biasa dia gunakan untuk jualan. Kami mencoba menolak tapi ibu itu memaksa dengan mengatakan dalam bahasa Jawa halus bahwa “Saya merasa senang lho bisa ngasih. Justru kalau nggak ngasih saya sedih.” Rasanya hati ini luluh dan malah ingin menangis. Ah, aku tak siap meninggalkan Yogyakarta dengan kumpulan orang-orang baiknya ini.
Dengan makan dan bekal yang luar biasa banyak kami hanya habis IDR 33.500 dan ibu itu masih memberi kami kortingan IDR 500 yang berusaha dengan halus kami tolak karena IDR 500 itu pasti sangat berharga untuknya. Apalagi, kami sudah diberi sendok oleh ibu itu. Tapi, sekali lagi dia memaksa kami dan akhirnya kami menyerah. Dan sungguh, kami sangat menghargai itu semua. Bukan perkara besar kecilnya pemberian itu. Tapi betapa ikhlasnya dia memberi kami, dari hanya sedikit yang dia miliki.
Bersiap Kembali ke Surabaya
Menuju ke Stasiun Lempuyangan
Selepas Zuhur kami segera bersiap. Kereta kami berangkat pukul 14.35 dan kami sudah janjian dengan mas-mas dari persewaan motor untuk bertemu di tempat kemarin pukul 13.30. Kami baru keluar dari homestay pukul 13.00, dengan bekal satu botol air 1.5 L dan nasi kucing dari angkringan.
Saat kami keluar dari homestay, tak ada Mbak Fitri atau siapapun. Akhirnya, aku hanya pamit ke Mbak Fitri melalui SMS saja, sekaligus mengucapkan terima kasih. Aku sudah tenang karena paling tidak aku sudah meninggalkan homestay dengan rapi, seperti sebelum kedatangan kami. Hehehe.
Dari homestay, kami hanya tinggal mengikuti petunjuk jalan saja. Kami tiba setengah dua kurang sedikit sekali dan rupanya mas-mas dari persewaan motor juga baru tiba. Dia bertanya apa kami tidak jadi naik Trans Jogja dan suami mengatakan kalau kami sudah naik kemarin dari Malioboro ke Bandara PP. Wkwkwkw.
Kami menyerahkan kunci dan mas-mas itu memeriksa semua kelengkapan, termasuk jas hujan yang ada di jok motor. Setelah oke, dia mengembalikan tiga identitas kami yang dijadikan sebagai jaminan. Kami bersalaman dan kemudian berpisah.
Kereta Pasundan Berangkat Menuju Surabaya
Kami segera masuk ke dalam stasiun dan duduk di tempat duduk yang berada di depan pintu masuk peron. Rupanya, kereta datang tepat waktu. Kami segera naik dan mencari tempat duduk kami. Tak seperti di Surabaya, kereta langsung berangkat karena Stasiun Lempuyangan memang bukan stasiun paling ujung dari trayek kereta Pasundan.
Stasiun Lempuyangan |
Rupanya, kereta ini lebih lama karena harus beberapa kali berhenti, mendahulukan kereta lain (yang kebanyakan bisnis atau eksekutif), yang kebetulan juga melalui stasiun yang sama. Sekitar pukul empat sore, kami sudah merasa lapar dan memakan bekal kami.
Akhirnya, setelah perjalanan yang sangat panjang dan melelahkan, kereta tiba dengan selamat di Stasiun Gubeng Surabaya pada pukul 20.00. Kami sempat bingung akan naik apa untuk pulang ke rumah. Suami akhirnya menyarakankan untuk memesan ojek online Gojek saja melalui aplikasi dari ponsel kami masing-masing.
Baca juga:
CARA MEMESAN OJEK ONLINE GOJEK MELALUI APLIKASI
Tak berapa lama, kedua Gojek yang kami pesan pun tiba dan mereka mengantarkan kami menuju ke rumah.
Artikel terkait:
BACKPACKING MURAH BALI 4 HARI 5 MALAM (4D5N): HARI PERTAMA (14 AGUSTUS 2017)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar