Kami bangun tepat saat azan Subuh berkumandang. Kami pun segera menunaikan salat Subuh. Hari ini, sesuai itinerary, kami akan ke Candi Prambanan. Karena jarak Yogyakarta – Prambanan tidak sejauh Yogyakarta – Borobudur dan kami juga tidak harus mengejar sunrise, kami memang sengaja untuk berangkat tidak terlalu pagi. Sekitar pukul lima lebih, kami baru keluar dari homestay dengan kondisi Google Maps menyala.
Dalam perjalanan menuju ke arah Solo, kami sempat melewati Tugu Jogja yang legendaris itu. Dari situ, Google Maps beberapa kali membuat kami kebingungan, melewati jalan yang memutar-mutar, hingga akhirnya kami lega ketika kami tiba di jalan yang cukup luas, mungkin jalan provinsi atau malah jalan negara, yang mengarah ke Solo.
Tugu Jogja di pagi hari |
Kami tinggal lurus saja mengikuti arah itu. Memasuki Kabupaten Sleman, kami baru menemukan beberapa petunjuk jalan ke arah Prambanan. Kami akhirnya tiba di area Prambanan sekitar pukul 06.15.
Suasana masih sangat sepi. Setelah memarkir motor, kami langsung berjalan menuju loket yang jaraknya sangaaaat jauh dari parkir motor. Kami tidak bertemu dengan turis lokal sama sekali pada saat itu; hanya ada beberapa turis mancanegara.
Tiket masuknya sama dengan Candi Borobudur, yaitu IDR 40.000. Kebetulan lokasi loket untuk tiket turis lokal dan mancarnegara tidak sangat terpisah seperti di Borobudur. Jadi, aku pun iseng mengintip harga tiket turis mancanegara, yang ternyata sangat membuat syok karena sangat mahal, yaitu IDR 325.000 untuk umum dan IDR 190.000 untuk pelajar.
Tak jauh dari loket, kami melihat ada banner promo paket wisata ke Candi Plaosan dan Candi Sojiwan. Merasa lokasinya dekat dan jika sendirian kami malah bisa mengeksplorasi dengan lebih puas (apalagi kami juga masih harus ke Candi Ratu Boko), kami memutuskan untuk tidak mengambil paket itu).
Dengan tiket di tangan, kami segera masuk melewati scanner tiket yang sudah ada satu petugas yang berjaga. Dan ketika kami memasuki halaman bagian dalam, kami mendapati suasana yang masih benar-benar lengang. Kami bisa berfoto di bagian depan candi tanpa gangguan siapapun.
Bahkan, kami pun bisa mengeksplorasi Candi Roro Jonggrang, bagian candi terluas dari kompleks Candi Prambanan, dengan sepuasnya. Sekitar pukul 07.00, ada sekeluarga bule yang masuk ke lokasi. Tapi, itu tidak cukup menganggu kami. Kami masih bisa mendapatkan banyak foto yang luar biasa bagus, bebas dari gangguan apapun.
Kurang dari setengah delapan, karena merasa sudah sangat puas mengeksplorasi Candi Roro Jonggrang, kami memutuskan untuk keluar. Sempat terpikir untuk naik kereta kelinci mengunjungi bagian kompleks Candi Prambanan lainnya tapi akhirnya kami urungkan. Alasannya, karena candi terbagus ya Candi Roro Jonggrang itu. Kedua, perut kami sudah melilit minta diisi. Kami bahkan juga melewati museum tanpa mampir.
Keluar dari Candi Roro Jonggrang, kami harus memutar melalui pintu keluar yang sangat jauh dari pintu masuk awal tadi. Jadi, sekali lagi, bagi kalian yang menemukan lokasi menarik dekat dengan pintu masuk, segera saja eksplorasi dan abadikan dalam foto karena siapa tahu pintu keluarnya berbeda.
Dari Candi Prambanan, kami berniat ke Candi Ratu Boko dulu. Suami memilih untuk melihat print-out peta saja alih-alih melihat Google Maps karena menghemat baterai ponsel, mengingat kami masih harus mengunjungi dua objek wisata lagi.
Baca juga:
REVIEW SITUS RATU BOKO SLEMAN: SITUS PURBAKALA DI ATAS BUKIT UNTUK MENIKMATI SUNSET
Dari peta, menurutku kami harus belok ke kanan, sementara suami kekeh belok ke kiri. Akhirnya, aku pun menurut ke suami. Toh, nanti kalau terpaksa, pada akhirnya kami juga akan menyalakan Google Maps.
Sampai beberapa ratus meter, kami tak menemukan petunjuk jalan ke arah Candi Ratu Boko. Malah, di salah satu belokan, kami melihat ada petunjuk jalan ke arah Candi Plaosan, candi yang memang sudah lama jadi incaran suami. Kami pun akhirnya bersemangat ke sana.
Dari belokan pertama, kami menemukan petunjuk lagi ke arah kanan. Dari situ, kami tinggal lurus saja. Beberapa meter sebelum candi tersebut, ada sebuah pertigaan. Kami membelokkan motor ke situ dan mengambil foto candi kembar itu dari jarak jauh. Suami bahkan sampai lari-lari di tengah sawah guna mengejar jepretan impiannya.
Aku terpaksa menunggu di pinggir jalan untuk menjaga motor dan barang-barang bawaan. Di salah satu titik yang sudah sangat dekat dengan candi, aku pun sempat mengambil foto candi dengan foreground sawah. Luar biasa indah.
Pada saat bersamaan, muncul segerombolan anak TK berbaju ungu yang rupanya sedang menjalani semacam study tour edisi Agustusan di Candi Plaosan bersama beberapa guru mereka. Suami sempat bertanya kepada bapak petugas yang ada di pos depan candi. Katanya, selama Agustus, semua pengunjung jadi tidak perlu membayar alias gratis. Kalaupun membayar, tiketnya juga sangat murah, yaitu hanya IDR 3.000 per orang.
Kami pun akhirnya segera memarkir motor di parkir motor milik warga dan segera masuk untuk mengeksplorsi candi tersebut.
Kecuali segerombolan anak TK tadi, hanya ada kami dan satu keluarga kecil lagi yang tengah mengunjungi candi. Jadi, kami pun bisa mengeksplorasi candi dengan leluasa.
Candi ini memiliki cukup banyak bagian, jadi kalian yang suka fotografi bisa hunting foto sepuasnya.
Setelah puas, kami bergegas melanjutkan perjalanan. Suami memutuskan untuk menyalakan Google Maps-nya. Dan, ternyata akulah yang benar. Tadi itu, kami harusnya belok kanan ketika keluar dari Candi Prambanan.
Dari Candi Plaosan, kami memutuskan untuk terus menggunakan Google Maps saja. Dan nyatanya, walaupun sudah menggunakan Google Maps, kami toh masih tetap bingung dan nyasar beberapa kali. Kami sempat juga bertanya ke beberapa orang, tapi hasilnya nihil.
Karena mentok, akhirnya kami memutuskan untuk makan dulu di Sop Ayam Pak Min Klaten. Di Surabaya sebenarnya ada warung sop ayam Klaten juga. Tapi, tentu makan langsung sop yang berlokasi di Klaten akan lain ceritanya.
Jadi, ceritanya, warung sop ayam ini dulunya adalah milik Pak Min, yang sepeninggalnya diteruskan oleh beberapa anaknya. Salah satunya adalah Sop Ayam Pak Min Klaten (Ragil) ini, yang dimiliki oleh anak bungsunya. Dari informasi yang kami dapat dari tukang parkir, setiap anak Pak Min menambahkan ciri khasnya masing-masing ke dalam sop ayam mereka. Jadi, jika kalian mampir ke warung Soto Ayam Pak Min satu ke lainnya, bisa jadi rasanya akan lain.
Selesai makan, kami melanjutkan perjalanan menuju Ratu Boko. Suami menawarkan diri untuk menyalakan Google Maps melalui ponselnya. Aku pun setuju dan segera mematikan Google Maps-ku agar baterai bisa dimanfaatkan untuk berfoto nantinya.
Dengan petunjuk GPS, kami pun bergerak menuju tujuan. Kami akhirnya tiba di jalanan yang mengecil tapi masih bisa dinaiki mobil. Di salah satu titik yang kami lewati, kami bisa melihat Candi Prambanan dan candi lain (mungkin Candi Sojiwan) di kejauhan. Sungguh indah.
Ketika melanjutkan perjalanan, kami menemukan banyak petunjuk arah ke “Spot Riyadi”, entah apa itu. Dan anehnya, tak ada petunjuk ke arah Ratu Boko. Tapi, karena Google Maps masih menunjukkan kami berada di jalur yang tepat, kami masih merasa sedikit tenang.
Mendekati tujuan, kami menemukan petunjuk yang ditulis tangan ala kadarnya dengan cat ke arah Ratu Boko. Dari situ, kami mulai sangsi, hingga akhirnya kami tiba di percabangan jalan: ke kiri berupa jalanan yang masih aspal, agak menurun, dan ada petunjuk arah ke “Spot Riyadi” dan ke kanan berupa jalan tak beraspal dengan kondisi yang tak begitu bagus, sedikit menanjak, dan lebih sempit jadi kemungkinan mobil akan susah masuk. Tapi di situ, tak ada petunjuk arah. Akhirnya kami bertanya ke seorang warga yang kami temui dan katanya memang jalan ke kanan itu adalah jalan menuju ke Ratu Boko.
Kami pun menurut. Jalannya berlubang di sana sini. Mobil mungkin bisa masuk tapi harus dengan susah payah. Kami akhirnya tiba di suatu jalanan tanah, yang tak jauh dari situ ada tulisan yang intinya itu bukan jalan masuk ke Ratu Boko dan barang siapa ketahuan masuk tanpa tiket akan dikenai denda 2 kali lipat harga tiket. Kami sih sudah punya tiket terusan yang kami beli kemarin itu. Jadi kami pikir, tentu kami bisa masuk dari manapun.
Bertanya ke pemilik tempat parkir, dia mengiyakan kalau itu adalah jalan ke Ratu Boko. Kami pun menurut. Kami masuk dan menjumpai di sisi kanan kami ada semacam gua kecil yang ternyata adalah Gua Boko.
Dari situ, kami lanjut mengikuti jalan setapak. Kemudian kami bertanya kepada satpam yang ada di situ. Ternyata itu adalah jalur illegal untuk masuk ke Ratu Boko. Bapaknya juga merasa aneh mengapa kami lewat situ padahal punya tiket. Kami bilang kami nyasar dan kenyataanya memang seperti itu.
Kami masih sempat berkeliling di sekitar situ. Dan selain gua, kami juga melihat pemandian serta pendopo di area ini. Tapi, gapura yang termahsyur itu, yang kami lihat di film Doea Tanda Cinta, tak terlihat. Kami berpikir, tentu itu ada di jalur resminya.
Akhirnya kami memutuskan untuk keluar dan mencoba mencari jalur resmi tersebut. Kata bapak parkir, sebenarnya tak apa lewat situ. Sampai jam 12 siang masih akan gratis. Tapi setelah itu, baru dikenai biaya. Kami tetap bersikeras untuk masuk dari jalur normal.
Rupa-rupanya, penyebab kami tersasar adalah karena titik akhir di Google Maps suami adalah Ratu Boko Cave. Jadinya, oleh Google Maps, kami dilewatkan ke jalur terdekat menuju ke Gua Ratu Boko tersebut, yang berada dekat dengan jalur masuk ilegal tadi.
Akhirnya, kami kembali menyalakan GPS dan mengetikkan “Candi Boko” sesuai yang ada pada pilihan yang diberikan Google Maps. Dengan berbekal GPS, kami tiba di jalan raya. Kami mengikuti petunjuk Google Maps dan baru saat itu kami melihat petunjuk jalan yang cukup besar ke arah Ratu Boko.
Di dalam perjalanan, kami kembali dibuat bingung. Ada petunjuk jalan arah Ratu Boko yang mengarah ke kiri. Padahal, di situ, kami melihat hanya ada bangunan yang terlihat seperti vila yang terbengkalai dan bangunannya sangat tinggi. Di dekat situ ada pos dengan seorang petugas berjaga di dalamnya.
Kami bertanya ke petugas yang ada di situ mengenai arah ke Ratu Boko. Dia mengatakan, ada dua jalur menuju Ratu Boko. Bisa naik lewat tangga yang ada di samping bangunan terbengkalai itu dan motor bisa diparkir di bawah. Naiknya sekitar 200 meter saja, kata bapaknya. Jalur satu lagi, bisa langsung naik motor dan parkir di tempat parkir di dalam area Ratu Boko.
Tak sanggup membayangkan naik tangga sejauh 200 meter, kami memilih opsi kedua. Masih menyalakan GPS karena masih takut nyasar, kami melanjutkan perjalanan. Lumayan jauh dari titik terakhir, mungkin sekitar satu kilometer, kami menemukan petunjuk ke arah kiri untuk menuju Ratu Boko. Kami masuk ke gang yang sedikit lebih sempit, tapi masih sangat lebar jika dibandingkan ke "jalan nyasar" yang pertama tadi. Aspalnya pun bagus.
Kami tiba di ujung jalan yang di satu sisinya ada masjid berwarna biru. Di atas jalan, ada petunjuk yang mengarah ke kiri untuk menuju Ratu Boko. Kami mengikutinya dan merasa sangat lega.
Hingga kami tiba di area Ratu Boko yang sebenarnya, jalanan yang kami lalui super mulus, tanpa lubang. Dari situ, aku dan suami terpingkal menertawakan kebodohan kami. “Masak iya tiket IDR 40.000 tapi jalanannya jelek, sempit, dan rusak kaya yang tadi?”
Kami langsung menuju ke loket. Di dekat loket ada satpam yang berjaga. Kami langsung menunjukkan tiket terusan kami. Dia memeriksa lalu mempersilahkan kami masuk.
Ternyata, ada beberapa bus pariwisata yang terparkir di halaman yang sangat luas. Dan, kalau lewat jalan zonk tadi, pasti bus pariwisata nggak akan bisa masuk! Ada juga tempat parkir bus shuttle bagi yang memiliki tiket terusan dari Prambanan. Di sisi lain, ada tempat pembelian tiket khusus turis mancanegara yang kami tak sempat lihat lebih dekat karena ruangannya memang tertutup. Tak jauh dari tempat pemeriksaan tiket, kami melihat ada tangga menurun yang kami yakini merupakan tangga yang dimaksud bapak petugas di pos tadi.
Kami masuk melewati scanner tiket seperti sebelum-sebelumnya. Setelah itu kami melewati jalan setapak bertangga, yang membawa kami menuju ke suatu halaman luas terbuka yang memiliki beberapa gazebo dan tempat duduk. Tak jauh dari situ, kami melihat ada masjid. Dan kami juga disambut beberapa ibu-ibu yang menawarkan es degan dan makanan lainnya. Kami menolak dan terus berjalan mendekati gapura Ratu Boko yang keren itu.
Beberapa meter sebelum gapura, ada tulisan Keraton Ratu Boko. Kami melewatinya dan memutuskan untuk narsis di situ belakangan.
Dan dari titik itu, kami melihat gapura yang kami cari-cari, berdiri megah di balik sebuah tangga. Kami lanjut menaiki tangga tersebut untuk menuju gapura utama. Setelah itu, kami segera hunting foto. Di sini, kami benar-benar harus pintar-pintar mengambil foto karena lokasinya tak seberapa luas dan banyak orang yang menggunakan gapura tersebut sebagai tempat berteduh. How stupid!
Sebenarnya, lokasi Ratu Boko sangat luas. Kalau kalian datang di pagi hari dan tidak sepanas ketika kami datang, kalian bisa mengeksplorasi sepuasnya. Karena kami tadi sudah sempat nyasar ke bagian belakang dari kompleks candi ini—yaitu yang terdiri dari pemandian, pendopo, dan gua—kami memutuskan untuk tidak kesana lagi. Ketika kami sudah merasa lelah luar biasa, kami memutuskan untuk menyudahi petualangan kami.
Dalam perjalanan kembali ke pintu keluar, kami sempatkan berfoto di tulisan Keraton Ratu Boko. Beberapa titik juga kami gunakan untuk bernarsis ria sembari kami berjalan menuju pintu keluar. Salah satu yang terbaik adalah sebuah tempat kecil di dekat loket masuk, dengan tempat duduk dari sebatang pohon, yang memiliki background gunung dan candi-candi lain di kejauhan.
Ketika keluar dari pintu keluar, petugas yang tadi menyambut kami bertanya “kok cepat?” Ya kami mengakui, kunjungan kami memang super cepat karena cuacanya sangat panas. Seandainya menunggu sunset, kami khawatir jika pengunjungnya sangat padat karena waktu sunset adalah prime time-nya Ratu Boko.
Dari Ratu Boko, kami langsung berkendara menuju ke arah Yogyakarta. Di pinggir jalan, kami sempatkan membeli es dawet yang sangat menyegarkan.
Kemudian, berbekal Google Maps, kami melanjutkan perjalanan. Kami kembali melewati Tugu Jogja dan bersyukur bisa kembali mendapatkan foto Tugu Jogja di siang hari.
Tugu Jogja di siang hari |
Tiba di daerah Nitipuran, kami memutuskan untuk makan di sebuah angkringan tak jauh dari homestay. Makan banyak sekali plus minum es teh yang super enak, kami hanya habis IDR 14.500. Wah, murah sekali. Makanannya pun sangat enak. Favoritku adalah nasi kucing sambal teri yang satu bungkusnya dihargai IDR 1.500. Selain sambal teri, pilihan lauk pelengkap lainnya adalah sambal goreng tempe.
Kenyang, kami pun pulang ke homestay, langsung salat dan merebahkan diri hingga tertidur.
Alarm membangunkan kami pukul tiga sore. Kami segera mandi, salat Asar, dan bersiap untuk petualangan selanjutnya. Agak lama berdandan, kami baru keluar hampir pukul empat sore. Padahal, rencananya kami ingin ke Kotagede yang jika dimulai dari homestay kami membutuhkan waktu hampir setengah jam.
Dengan kondisi baterai penuh, kami menggunakan GPS lagi. Sebenarnya kami ingin menuju Masjid Agung Kotagede tapi aku salah meng-klik alamat di Google Maps dan malah menjadikan Masjid Perak Kotagede sebagai tujuan akhir. Tiba di Masjid Perak, aku baru tersadar bahwa aku salah tujuan. Aku akhirnya merivisi alamat di Google Maps dan aplikasi itu mengarahkanku ke Jalan Mondorokan.
Ketika tiba di Jalan Mondorokan, Google Maps mengarahkan kami masuk ke sebuah gang. Kami pun masuk ke gang tersebut. Dari keterangan yang tertempel di dinding, kami tahu bahwa gang itu adalah Kampung Kudusan.
Pintu gerbang jadul tampak di ujung gang, dan kami yakin itu adalah pintu gerbang menuju Masjid Gede Kotagede. Tapi kami terpaksa memarkir motor agak jauh dari pintu masjid yang jaraknya masih sekitar 200 meter karena di gang tersebut tengah dibangun panggung untuk acara tirakatan malam 17-an.
Aku berjalan dan masuk ke area masjid kemudian memotret seadanya. Kondisi jalan yang ditutup membuatku sedikit tak bersemangat.
Tujuan selanjutnya sebenarnya adalah Rumah Pesik yang terletak di sebuah gang. Tapi, kami tak tahu dimana gang itu. Alamatnya pun tak ada di Google Maps. Dan suasana sudah semakin sore saja. Dengan berat hati, aku mengiklaskan tujuan yang sudah masuk wishlist-ku itu.
Kami meneruskan perjalanan hingga akhirnya kami menemukan petunjuk ke arah “Kampung Wisata Purbayan”. Kami berbelok ke gang yang membawa kami ke sebuah pasar. Mungkin itu Pasar Kotagede seperti yang banyak diulas di internet.
Kami memarkir motor kami di tempat parkir pinggir jalan, tepatnya di depan penjual jajanan pasar yang ramai banget.
Dari situ, kami berjalan menjauhi muka gang, hingga akhirnya kami tiba di pintu masuk lain dari Masjid Agung Kotagede. Rupanya, pintu masuk yang ini lebih utama dibandingkan yang tadi karena ada petunjuk jalannya juga.
Kami pun masuk dan segera mengambil foto dari masjid yang tadi tidak sempat kuambil.
Belok ke kiri, kami di bawa ke arah Makam-Makam Raja Mataram. Arsitektur bangunannya sangat jadul. Tapi, kami tak masuk makam karena beberapa alasan. Pertama, karena kami memang tidak pernah melakukan perjalanan khusus untuk mengunjungi suatu makam (dan itu bertentangan dengan prinsip agama yang kami anut). Kedua, dan ini bisa jadi alasan yang lebih masuk akal untuk tidak masuk, pada peraturannya tertulis bahwa barang siapa yang masuk ke makam harus memakai jarit dan kemben (artinya bagian bahu terbuka), yang semuanya bisa disewa ke sekretariat. Dan anehnya lagi, siapapun yang memakai jilbab juga harus melepas jilbabnya. Kami rasa itu sama sekali nggak masuk akal.
Mengambil foto ala kadarnya, kami pun keluar dari wilayah makam. Rasanya tak ingin berlama-lama di situ. Ada rasa tak nyaman.
Ketika kami keluar, hari sudah semakin gelap. Sebentar lagi Magrib. Ada sekumpulan bule yang baru keluar dari makam dibawa berbelok ke arah kanan di jalan yang tadi oleh seorang guide. Entah mereka mau dibawa kemana. Kami memilih untuk berbelok ke kiri, ke arah motor kami.
Berjalan menuju kembali ke arah pasar, aku menemukan keterangan yang menempel di dinding, yang menyebutkan bahwa lokasi itu adalah Kampung Dhondhongan.
Menunggu Magrib, kami memutuskan untuk makan mi ayam Solo yang ada di dekat tempat parkir. Nyam-nyam rasanya enak. Suami juga sempat membeli jajanan pasar di tempat yang sangat ramai tadi. Pada saat kami makan, azan Magrib berkumandang. Kami segera menghabiskan makanan kami.
Kami memutuskan untuk tidak salat di Masjid Agung Mataram, karena lokasinya memang satu kompleks dengan makam (dan kami tidak tahu pasti makamnya ada di sebelah mananya masjid). Dan untuk membuat hati kami lebih tenang serta menghindarkan dari hal-hal yang tidak diinginkan, kami memutuskan untuk salat Magrib di Masjid Perak yang lokasinya juga tak jauh dari situ.
Masjid Perak ini berada di suatu gang yang sangat rapi dan nyaman. Kesan pertama yang kudapat, tinggal di lingkungan itu pasti sangat menyenangkan. Masjid itu lumayan besar untuk ukuran masjid di dalam gang. Warna utamanya putih dengan beberapa dekorasi di sana sini yang menarik. Lampu bagian dalam tak terlalu terang tapi malah menciptakan kesan hangat.
Selesai salat, kami melanjutkan perjalan ke Malioboro. Setelah melakukan diskusi dan menimbang banyak hal, akhirnya kami memutuskan untuk naik Trans Jogja malam ini saja. Besok, kami bisa langsung ke Stasiun Lempuyangan karena kalau harus naik Trans Jogja ke stasiun bisa riskan ketinggalan kereta. Hahaha.
Kami memarkir motor kami di halaman Benteng Vredeburg dan naik Trans Jogja melalui halte 3 Malioboro.
Sebelum naik, kami jelaskan dulu tujuan kami kepada petugasnya, yaitu bahwa kami hanya ingin merasakan sensasi naik bus ini untuk kemudian kembali lagi ke Malioboro. Dia bilang, kami bisa naik bus 1A. Kalau seandainya mengikuti rute perjalanan satu bus itu, maka akan memakan waktu kurang lebih dua jam untuk bisa kembali ke Malioboro.
Aku bilang, bahwa itu kelamaan. Dia kemudian berpikir sejenak sebelum akhirnya mengatakan bahwa kami harus naik bus 1A dan turun di halte Bandara Adisutjipto, jangan sampai terus ke Prambanan. Dari situ, kami harus naik lagi bus 1A yang kembali, yaitu yang menuju ke arah kota.
Setuju dengan ide bapak itu, kami pun segera membeli dua tiket bus Trans Jogja seharga IDR 3.500 per tiket dan tak seberapa lama bus 1A pun datang. Kami segera naik dan mencari tempat duduk. Rasanya senang bisa naik Trans Jogja lagi setelah sekian lama.
Rute kami kali ini sebenarnya bisa dijadikan rujukan bagi kalian yang ke Yogyakarta dengan menggunakan moda transportasi pesawat karena kapan lagi bisa menuju atau meninggalkan bandara hanya dengan membayar IDR 3.500?
Jalanan lumayan padat malam itu. Bus ini sedikit banyak mengingatkanku pada bus gratis GoKL yang ada di Kuala Lumpur, Malaysia. Bedanya, bus ini berbayar walaupun sangat murah. Dan, ada petugasnya yang berdiri di dekat pintu, yang bertugas memberitahukan halte tujuan bila sudah dekat.
Baca juga:
CARA NAIK BUS GRATIS GOKL (GO KL) DI KUALA LUMPUR
Perjalanan dari Malioboro ke bandara membutuhkan waktu sekitar 40 menit. Begitu petugasnya mengatakan kami telah tiba di bandara, kami segera menuju ke pintu dan keluar ke halte. Hanya kami berdua yang keluar saat itu.
Berbeda dengan halte di Malioboro tadi, halte bandara ini lebih luas dan lebih padat. Tanpa harus keluar halte, kami bisa melanjutkan perjalanan selanjutnya dan itu artinya kami juga tidak perlu membayar tiket lagi. Kepada salah satu petugas aku bertanya mengenai jalur yang bisa membawa kami ke Vredeburg, dan dia mengatakan kami harus naik bus 1A yang mengarah ke kota.
Beberapa bus 1A datang tapi kebanyakan menuju ke arah Prambanan. Aku begitu bersyukur ketika bus 1A jurusan kota datang. Petugas meneriakkan beberapa lokasi penting yang dilewati bus itu, seperti Stasiun Tugu dan Malioboro.
Kami dapat tempat duduk di pojokan. Suami pun memilih untuk tidur dan aku baru membangunkannya ketika bus sudah sampai di sekitar Stasiun Tugu. Ketika bus tiba di halte 3 Malioboro, kami segera turun. Waktu yang dibutuhkan selama perjalanan kembali dari bandara ke Malioboro kurang lebih sama, yaitu masing-masing sekitar 40 menit walaupun jalur yang kami tempuh sebenarnya sedikit berbeda dengan jalur berangkat.
Turun dari bus, kami memutuskan untuk menghabiskan malam itu di titik Nol Kilometer saja. Segera aku dan suami hunting foto lokasi di sekitarnya, seperti Gedung Bank BNI dan Gedung Kantor Pos yang berdiri dengan megahnya. Selesai mengambil foto, kami membeli makanan dari beberapa penjual yang berjualan di tepi trotoar. Kami memesan dua jagung bakar, satu mangkok ronde, dan satu kopi hitam sachet-an, yang ketiganya dari penjual yang berbeda. Kami memakan hidangan itu sambil menikmati titik Nol Kilometer yang penuh oleh beberapa muda-muda yang sibuk mencari foto terbaik.
Rondenya tak seenak ronde kemarin dan juga tidak sepedas itu, tapi harganya sedikit lebih mahal yaitu IDR 7.000 per porsi. Kopi per gelasnya dihargai IDR 4.000. Jagungnya pun harganya normal, yaitu IDR 6.000 per buah. Tentu ini sangat berbeda dengan Kembar B yang disaat bersamaan sedang berada di Bali dan harus mengeluarkan IDR 15.000 untuk satu buah jagung bakar. Wkwkwkwk.
Baca juga:
BACKPACKING MURAH BALI 4 HARI 5 MALAM (4D5N): HARI KEDUA (15 AGUSTUS 2017)
Artikel terkait:
PERJALANAN MURAH SEHARI KE TROWULAN, MOJOKERTO DENGAN KENDARAAN PRIBADI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar