Tiba di Terminal Mendolo, Wonosobo
Kami sudah terbangun semua ketika bus sudah hampir tiba di tujuan. Petugas yang semula menyarankan kami turun di kota meralat ucapannya. Karena saat itu masih terlalu dini hari, lebih tepat jika kami turun di terminal saja. Kami sekali lagi menurut.
Kami akhirnya tiba di Terminal Mendolo Wonosobo sekitar pukul 04.00. Keluar dari Bus Handoyo, kami langsung disambut oleh beberapa tukang ojek, yang langsung menawari kami tumpangan menuju ke Plasa atau daerah kota, tempat kami bisa naik bus menuju ke Dieng. Kata tukang ojeknya, mikrobusnya baru akan datang sekitar pukul 07.00.
Tarif yang mereka tawarkan untuk menuju Plasa adalah IDR 25.000. Kami sempat galau karena itu jauh di atas harga mikrobus yang mungkin hanya sekitar IDR 5.000.
Kami memutuskan untuk salat terlebih dahulu begitu azan Subuh berkumandang. Saat itu kami belum mengambil keputusan. Bahkan dua tukang ojek yang semula menawari kami sudah pergi mengambil penumpang lain dan dua tukang ojek baru menggantikan posisi mereka.
Selesai salat, Suami Kembar A mencoba bertanya berapa biaya ojeknya jika langsung ke Losmen Bu Djono. Kata bapaknya, IDR 125.000. Sementara itu, tarif mikrobus dari Alun-Alun menuju ke Losmen Bu Djono adalah sekitar IDR 25.000.
Berpikir bahwa perjalanan dengan ojek akan lebih cepat dan akan bisa memberikan penghasilan tambahan untuk penduduk lokal, kami memutuskan untuk menggunakan jasa ojek hingga ke Losmen Bu Djono. Suami pun bertanya berapa harga terendah yang bisa mereka berikan karena terus terang harga yang ditawarkan tadi masih terlalu jauh dari yang kami harapkan. Mengetahui bahwa kami memiliki itinerary dengan budget yang sudah terencana, mereka menurunkan tarif mereka hingga IDR 100.000. Si Kembar pun menyetujui harga tersebut. Tukang ojek itu juga bilang bahwa kami nanti akan dimampirkan ke Gardu Pandang untuk melihat sunrise.
Berangkat Naik Ojek Menuju Losmen Bu Djono
Kami berangkat dari terminal tepat pukul 05.00. Suasana masih sangat gelap.
Dalam perjalanan, tak berapa lama dari terminal, kami rupanya juga melewati Alun-Alun. Tak jauh dari situ ada bus jurusan Dieng yang sedang ngetem. Jadi, kalian yang tidak tiba di Terminal Mendolo saat subuh bisa menggunakan mikrobus menuju Alun-Alun untuk kemudian lanjut ke arah Dieng.
Selepas Alun-Alun, kami melewati beberapa tanjakan dan tikungan tajam. Sekitar setengah jam kemudian kami tiba di Gardu Pandang Tieng, sebuah Gardu tingkat yang memang lokasinya berada di desa Tieng. Semula kami sempat berpikir itu salah tulis wkwkwk. Oh ya, di gardu pandang ini juga ada tulisan “Dieng Wonosobo” yang bisa kalian manfaatkan untuk bernarsis ria lho.
Suasana saat itu agak mendung. Kami sempat berfoto-foto sebelum akhirnya matahari menampakkan dirinya. Sudah agak tinggi memang karena mendung cukup tebal di area horison. Namun kami tetap merasa bahagia mendapat sambutan sunrise hangat di hari pertama kami di Dieng.
Setelah mengambil beberapa foto dan Si Kembar pun sempat minum teh di warung dekat situ, kami melanjutkan lagi perjalanan menuju Losmen Bu Djono. Kami melewati gerbang selamat datang dan tak berapa lama tukang ojek menurunkan kami di depan Losmen Bu Djono yang letaknya tepat di dekat sebuah pertigaan besar. Losmen ini rupanya juga terletak tepat di depan tulisan "Welcome to Dieng", salah satu spot foto favorit wisatawan.
Setelah kami membayar, ketiga tukang ojek mengundurkan diri. Udara semakin terasa dingin. Padahal, pak ojek tadi bilang, kalau ini sudah tak seberapa dingin karena kemarin sempat gerimis di Wonosobo.
Seorang bapak tua yang sedang menyapu di area losmen menyambut kami. Rupanya dia salah satu pengelola tapi kami lupa siapa namanya. Kami mengatakan bahwa kami sudah memesan kamar dan lelaki itu memeriksa catatan. Setelah kami melunasi pembayaran, lelaki itu mengantarkan kami ke lantai dua, tempat kamar kami berada.
Kamar Kembar A dan suami |
Kamar Kembar B |
Sebelum turun, lelaki itu bertanya barangkali kami mau pesan minum. Kami pun memesan 3 gelas teh jahe tradisional.
Setelah menaruh barang, kami keluar ke balkon sederhana di lantai dua. Kami menghabiskan waktu yang masih sangat pagi itu untuk sekedar bersantai. Teh jahe datang beberapa menit kemudian. Ah, nikmatnya.
Kami masih duduk cukup lama di situ, mengamati beberapa traveler lain yang juga baru tiba dan berfoto-foto di tulisan Welcome to Dieng, sebelum akhirnya kami masuk ke kamar dan beristirahat.
Sementara itu, Suami Kembar A menunggu di bawah dan bertemu dengan seorang penduduk lokal bernama Mas Pii yang rupanya adalah admin utama di Patakbanteng. Dari dia, suami kembar A banyak mendapatkan informasi mengenai lokasi-lokasi wisata di Dieng dan khususnya mengenai pendakian ke Gunung Prau.
Kami keluar kamar sekitar pukul 10.00. Sebelumnya, Suami Kembar A sudah bertanya tentang persewaan motor kepada bapak tua tadi. Harga sewanya adalah IDR 100.000 untuk 12 jam atau IDR 150.000 untuk 24 jam. Setelah berunding, kami sepakat menyewa motor selama 24 jam. Dan itu, dengan kondisi bensin penuh. Lumayan lah, meskipun cukup mahal jika dibandingkan dengan persewaan motor di daerah lain seperti Jogja.
Baca juga:
SEWA MOTOR DI JOGJA: TIPS KELILING YOGYAKARTA SEPUASNYA DENGAN BIAYA MURAH
Kami langsung membayar lunas dan menyerahkan dua KTP untuk menyewa dua motor. Kunci diserahkan kepada kami dan kami siap berpetualang. Mas Pii menyarankan agar kami tidak membeli tiket terusan untuk semua tempat wisata karena menurutnya itu adalah dari calo, dan uangnya tidak masuk ke pemerintah.
Kami memulai perjalanan kami ke Candi Arjuna yang lokasinya sangat dekat dengan Losmen Bu Djono. Di pintu masuk, petugas memberikan kami tiket terusan langsung ke Kawah Sikidang seharga IDR 15.000 per orang. Mungkin karena kedua lokasi itu berada di Banjarnegara jadinya dijadikan satu tiket.
Setelah memarkir motor di lahan yang cukup luas, kami segera masuk ke kompleks Candi Arjuna tersebut. Dari tempat parkir, kami masih harus berjalan sekitar 100 meter. Saat itu, kami juga melihat banyak tanaman mati akibat bun upas (embun beku), yang sayangnya sedang tidak terjadi pada saat kami kesana.
Di dalamnya, ada 4 candi, yaitu Candi Srikandi, Candi Puntadewa, Candi Arjuna, dan Candi Semar. Sementara itu, ada juga 1 candi yang saat itu tengah dipugar tapi entah apa namanya. Selain candi-candi ini, sebenarnya masih ada candi-candi lain di kompleks itu, tapi kami tidak mendatanginya.
Candi Srikandi |
Candi Puntadewa |
Candi Arjuna |
Candi Semar |
Dari area candi, kalian bisa melihat tulisan Dieng Banjarnegara di suatu bukit di atas.
Selesai memutari kompleks candi ini, kami memutuskan untuk keluar dan mencari makan. Kami membayar parkir sebesar IDR 2000 per motor.
Dari area candi kami berbelok ke kiri dan menemukan sebuah warung. Karena sudah terlalu lapar, kami pun makan di situ. Hanya warung biasa sih, tidak ada yang spesial. Dari bentuk warungnya, kami menyimpulkan bahwa sepertinya yang makan di sini adalah orang lokal.
Dari warung, kami lanjut ke Kawah Sikidang. Tempat parkirnya juga cukup luas dan kami harus membayar IDR 3.000 per motor.
Daerah wisata yang satu ini tampaknya benar-benar butuh penataan. Ketika tiba di sini, kami melihat ada bangunan terbengkalai di sebelah kanan. Areanya secara keseluruhan juga kurang bersih. Kami kemudian masuk melewati deretan penjual oleh-oleh. Setelah itu, kami disambut pemandangan khas kawah: bau belerang, asap, panas.
Pertama kali, yang kami perhatikan adalah banyaknya spot-spot selfie, yang tersebar di beberapa titik. Bangunan penjual oleh-oleh pun tampak bertebaran di area kawah, yang akan terlihat lebih berantakan ketika kalian telah sampai di area kawah yang memang lebih tinggi.
Sebenarnya, di dekat pintu masuk, ada tulisan Dieng 0 Kilometer yang menurut kami cukup oke karena seandainya area ini memang benar adalah titik 0 kilometer-nya Dieng, tentu tulisan ini bisa dijadikan penanda. Namun, spot foto lainnya terkesan berserakan dan tidak rapi. Bahkan, dari info yang kami dapatkan kemudian, beberapa spot foto itu merupakan jebakan batman. Artinya, selesai foto-foto kalian bisa ditodong uang sekitar IDR 5000. Murah sih tapi menyebalkan. Yang kami syukuri adalah kami tidak tertarik berfoto di spot-spot itu jadi kami terhindar dari hal-hal yang menyebalkan tadi.
Untuk mencapai area kawah, kami masih perlu berjalan tidak terlalu jauh tapi sedikit menanjak. Bagian kawah ini sebenarnya cukup menarik. Kawahnya benar-benar aktif dengan air yang bergolak mendidih. Kalian hanya perlu waspada dengan arah angin yang siap membawa asap belerang kemanapun. Dan jika ke arah kalian, asap ini bisa membuat batuk-batuk.
Selesai berfoto dan mengamati area kawah, kami menyudahi eksplorasi kami di Kawah Sikidang. Kami sempat ragu mau kemana lagi. Namun, dalam perjalanan, kami menemukan petunjuk jalan ke arah Telaga Warna yang rencananya kalau berdasarkan itinerary masih akan kami kunjungi besok. Karena waktu kami masih luang (dan juga karena ingin meminimalkan kecapekan esok hari mengingat ada agenda mendaki), kami memutuskan untuk mengunjungi tempat wisata ini pada hari itu juga.
Kami membayar tiket masing-masing IDR 12.500.
Ternyata area ini merupakan kumpulan dari beberapa spot menarik. Kami hanya mengunjungi Telaga Warna dan Telaga Pengilon saja karena rupanya di area gua (yang menjadi salah satu spot tujuan di sini) ada semacam dukun atau paranormal, yang bertentangan dengan agama yang kami anut. Jadi, kami memutuskan untuk menghindarinya saja.
Lelah, kami akhirnya menyudahi petualangan kami hari itu sekitar pukul 13.00 dan kembali ke losmen. Belum lapar, kami memutuskan untuk tidur.
Kami baru bangun setelah Asar. Selepas salat dan merapikan diri, kami keluar losmen dan mencari makan. Kami mampir ke suatu warung di depan sebuah minimarket yang memiliki daftar menu yang cukup bervariasi. Si Kembar memesan sop ayam dan Suami Kembar A memesan capcay. Makanannya cukup enak. Harganya pun standar ya. Beserta minuman kami masing-masing habis IDR 23.000 dan IDR 25.000.
Selesai makan, kami mampir ke minimarket tadi untuk membeli makanan sebagai bekal esok hari ketika naik ke Bukit Sikunir. Selesai belanja, kami sempatkan berfoto dengan tulisan "Welcome to Dieng", mumpung sepi. Hehehe. Setelah itu, sebelum Magrib, kami kembali lagi ke losmen.
Kami berdiskusi mengenai perjalanan esok hari, untuk mematangkan rencana. Kami sempat galau, khususnya mengenai pendakian ke Prau. Selain karena kami bertiga tidak berpengalaman, kami juga khawatir dengan suhu dingin yang rawan menyebabkan hipotermia. Sampai setelah salat Magrib, kami masih membahas hal itu dan masih galau, pasalnya menyewa porter pun juga tidak murah dan akan membengkakkan budget kami secara cukup signifikan.
Kami baru keluar losmen setelah Isya. Di lobi, kami kembali bertemu dengan Mas Pii. Kami masih sempat bercakap mengenai pendakian ke Prau sebelum akhirnya kami keluar losmen untuk membeli makan malam.
Pada jam segitu, Dieng sudah sangat sepi. Mungkin karena bukan akhir pekan. Cukup susah juga saat mencari makan. Bahkan kami yang sangat ingin menikmati jagung bakar pun tidak berhasil menemukan penjualnya. Kami akhirnya berbelok ke sebuah warung di dekat jalan menuju Candi Arjuna.
Kami membeli sop ayam, sop jamur, dan tongseng jamur yang enak banget. Selain itu, karena penasaran dengan Purwaceng (herbal khas Dieng) si kembar pun memesan Purwaceng kopi dan Suami Kembar A memesan Purwaceng original. Sebelumnya, kami berpikir bahwa rasa kopinya akan mirip kopi di Phuket yang seperti jamu tapi ternyata tidak. Baik Purwaceng kopi maupun original, rasanya cukup nikmat untuk lidah kami.
Makanannya juga enak dan harganya standar, tidak terlalu mahal. Pelayannya mengambilkan nasi satu wadah dan kerupuk dalam satu piring. Kami makan seperti kuli karena rupanya hawa dingin membuat kami kelaparan. Wkwkwk.
Kenyang, kami kembali ke area losmen. Dan sebelum tidur, kami akhirnya mengambil keputusan untuk memakai jasa porter untuk pendakian esok hari dengan beberapa pertimbangan. Dan selesai mempersiapkan barang yang akan dibawa naik ke Bukit Sikunir, kami pun tidur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar