Senin, 12 November 2018

PENGALAMAN MENDAKI DAN MENIKMATI SUNRISE BUKIT SIKUNIR, DIENG, WONOSOBO

mendaki bukit sikunir

Pada pendakian Bukit Sikunir ini, kami memulai perjalanan kami dari penginapan kami, yaitu Losmen Bu Djono. Meskipun jarak losmen dan Bukit Sikunir tidak begitu jauh, yaitu hanya sekitar 20 menit perjalanan motor, kami tidak mau mengambil risiko berangkat menjelang matahari terbit. Kami tetap memutuskan untuk berangkat lumayan dini, yaitu sekitar pukul 03.30 WIB.

Keluar dari losmen, kami mengarahkan motor kami ke arah kiri, berlawanan arah dengan rute menuju ke Kompleks Candi Arjuna. Kami berkendara terus mengikuti jalan besar. Beberapa ratus meter kemudian jalan mulai bercabang dan berkelok, meskipun tidak curam, sehingga masih mudah dilalui oleh Kembar B yang mengendarai motor sendiri.

Dengan bantuan GPS, karena memang tidak ada plang penunjuk arah yang memadai, akhirnya sampai juga kami di pintu gerbang Kampung Sikunir. Di sini, kami diharuskan membayar tiket masuk sebesar IDR 15.000/orang.

Dari pintu gerbang ini, tak lama kemudian kami telah sampai di tempat parkir Kampung Sikunir. Setelah memarkir motor dan membayar karcis IDR 2.000/motor, kami mulailah perjalanan kami.

Dari tempat parkir itu, jalan sudah mulai menanjak, namun kami merasakan kaki kami masih berpijak di jalanan berpaving. Jalanan berpaving ini masih lumayan panjang. Sebelumnya, di kedua sisi jalanan tersebut masih tampak bangunan-bangunan yang di suasana gelap itu tidak begitu terlihat jelas oleh mata kami. Tapi selang beberapa meter di depan, jalanan masih berpaving tapi sudah tidak nampak ada bangunan di kedua sisi jalan.

Setelah jalanan berpaving habis, kami disambut oleh jalanan yang tersusun dari batuan, yang telah dibentuk undakan. Jalan model ini cukup panjang, bahkan di beberapa titik ada percabangan. Namun tidak perlu khawatir. Percabangan ini pun nantinya akan mengarah ke titik yang sama.

Selesai dengan model tanjakan berbatu, kali ini medan yang kami hadapi selanjutnya adalah tanah berundak. Karena cuaca cerah, perjalanan kami lumayan mudah. Tidak terbayangkan oleh kami jika cuaca sedang hujan, akan sebecek apakah daerah ini.

Perjalanan mendaki ini bisa ditempuh secara normal dalam waktu sekitar 45 menit saja. Karena kan Sikunir itu hanyalah sebuah bukit dan bukannya gunung, jadi memang ketinggiannya tidak seberapa.

Namun karena waktu itu Kembar tidak dalam keadaan fit, alias sedang mengalami sesak nafas, perjalanan kami memang jadi lebih lambat. Untungnya, dalam perjalanan ini kami bertemu dengan salah seorang pendaki yang kami tahu juga menginap di Losmen Bu Djono. Mengetahui salah satu dari kami ada yang tampak bermasalah dengan hidungnya, dia menawari kami koyo untuk kami tempelkan ke hidung. Dan waw, ajaib sekali, hidung kami yang mulai pilek dan beringus mendadak sembuh dan kami bisa bernafas dengan lebih nyaman.

Sekitar pukul 04.30, kami samar-samar mendengar azan dari kejauhan di bawah, dan tepat saat itu kami kebetulan telah sampai di depan musala. Sebelum melanjutkan perjalanan, kami salat terlebih dahulu.

Sekitar pukul 05.00 kami telah sampai di puncak. Suasana masih gelap, namun telah banyak orang berkerumun di sana. Angin berhembus cukup kencang. Kami mencari tempat kosong untuk duduk-duduk menunggu sunrise sembari mengistirahatkan kaki.

Sekitar pukul setengah enam, garis kekuningan di ufuk timur mulai melebar, melebar, dan akhirnya munculah sang surya secara perlahan, menyapu kami yang kala itu sedang kedinginan dengan kehangatan yang menenangkan. Cahayanya yang memantul di gunung-gunung yang terlihat di depan kami, di sertai dengan hiasan sedikit awan yang menggelantung di beberapa titik, benar-benar membuat pemandangan pagi itu terasa magical. Masya Allah. Alhamdulillah cuaca cerah sekali sehingga matahari bisa terbit dengan sangat bersih dan sempurna.

Setelah matahari makin meninggi, kami memutuskan untuk mengesplorasi tempat itu di sisi-sisi yang lain. Dan rupanya, memang banyak sekali spot yang menakjubkan dan instagrammable di tempat ini. Kami berfoto-foto sambil sesekali menahan dingin yang menusuk tulang.

Puas berfoto, kami memutuskan untuk turun. Perjalanan turun sangat mudah dan cepat, apalagi sesak nafas Kembar A telah reda saat dia sampai di puncak dan melihat sunrise.

Akhirnya kami sampai di jalanan berpaving yang kami lalui subuh tadi, dan kami baru menyadari bahwa bangunan di kanan kiri jalanan tersebut adalah warung-warung penjual makanan. Di deretan ini juga ada toko yang menjual oleh-oleh khas Dieng, yaitu Sirup Carica. Dan jangan khawatir, di sini juga terdapat toilet.

Dari deretan ini, jika kita mengarahkan mata ke arah tempat parkir, kita akan disuguhi pemandangi Danau Cebong yang indah, yang ternyata letaknya bersebelahan dengan tempat parkir.

Sampai di sini, kami memutuskan untuk mampir di salah satu warung dulu karena perut kami telah melilit minta diisi. Di depan salah satu warung, tampak seroang ibu tengah menggoreng kentang kecil yang jumlahnya banyak di sebuah wajan besar. Kentang itu berbumbu coklat, entah apa, tapi yang jelas tidak hitam pekat seperti kecap. Selain itu, kami juga memesan masing-masing segelas kopi.

Selesai makan kami membeli oleh-oleh Sirup Carica di salah satu toko. Jika diperhatikan, sejauh mata memandang, ada banyak sekali tumbuhan Carica di sana sini. Dan memang Carica adalah salah satu komoditi utama di Dieng.

Setelah itu, kami mengambil motor kami di tempat parkir dan memutuskan untuk pulang ke hostel. Namun sebelum itu kami sempatkan untuk berfoto dengan berpanoramakan Danau Cebong. Dalam perjalan pulang pun kami sempatkan untuk berfoto dengan plang nama Desa Sembungan, yang merupakan desa tertinggi di Pulau Jawa, yang memang kami lewati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar