Selasa, 13 November 2018

PENGALAMAN MENDAKI GUNUNG PRAU, WONOSOBO VIA PATAKBANTENG DAN MENIKMATI SUNRISE

Persiapan Mendaki Gunung Prau


Saat melakukan perjalanan ke Dieng, kami memang memasukkan Gunung Prau ke dalam itinerary kami. Yang menjadi masalah adalah kami tidak tahu pasti harus naik lewat mana karena memang ada setidaknya 7 jalur untuk memulai pendakian ke Gunung Prau. Dan dari penginapan kami saja, ada 4 jalur yang dekat.

Dari beberapa review yang kami baca, jalur Patakbanteng merupakan yang paling banyak direkomendasikan. Namun, lokasinya tidak terlalu dekat dengan Losmen Bu Djono, tempat kami menginap. Masih bimbang, kami memutuskan untuk memastikan semuanya ketika telah berada di Dieng saja.


Baca juga:
REVIEW LOSMEN BU DJONO: PENGINAPAN TERTUA DAN TERMURAH DI DIENG, WONOSOBO

Beruntungnya, saat sedang berada di Losmen Bu Djono, Suami Kembar A bertemu dan ngobrol dengan penduduk lokal bernama Mas Pii yang ternyata merupakan admin utama dari Patakbanteng.

Dari Mas Pii lah kami mendapat banyak informasi mengenai Patakbanteng termasuk cara menuju ke sana dari Losmen Bu Djono, biaya sewa peralatan, dan waktu yang disarankan untuk mendaki.

Kebetulan pula, hari kami mendaki adalah jadwal piket Mas Pii untuk berjaga di tempat registrasi. Jadi, semua seperti serba kebetulan. Mas Pii menyarankan kami untuk menyewa guide/porter juga. Namun, saat itu kami belum memutuskan. Suami kembar A dan Mas Pii pun bertukar nomor telepon.

Malam harinya sebelum Hari H pendakian, kami bertiga sempat galau. Kami memang sudah pasti akan menyewa peralatan secara full (tenda, matras, sleeping bag, dan kompor) seharga IDR 350.000. Namun, bagaimana dengan porter?

Kami sangat galau mengingat biaya sewa porter juga tidak murah. Dari yang dikatakan Mas Pii, kalau lewat dia, kami bisa mendapatkan harga IDR 350.000. Kalau tanpa melalui dia, mungkin bisa IDR 500.000.

Karena kondisi kami kurang fit dan minim pengalaman dalam mendaki, dengan hanya satu lelaki dalam kelompok kami, ditambah suhu yang sangat dingin sehingga rawan hipotermia, kami memutuskan untuk menyewa porter.

Esok paginya, sepulang dari Sikunir, Suami Kembar A menelepon Mas Pii dan mengatakan akan menyewa peralatan dan porter sekaligus. Disepakatilah harga IDR 700.000.

Perjalanan Menuju Basecamp Patakbanteng


Berdasarkan penuturan dari Mas Pii kemarin, untuk menuju Basecamp Patakbanteng, kami bisa menggunakan angkot dengan membayar IDR 2.000. Tapi saat kami keluar losmen, sudah ada tiga bus berjajar di depan losmen. Salah satu kenek menawari kami naik ke bus tersebut. Suami Kembar A bertanya berapa tarif ke Patakbanteng dan si kenek menjawab IDR 5.000. Kami pun menolak karena tahu bahwa dengan angkot, kami bisa hanya membayar IDR 2.000. Akhirnya si kenek menurunkan harga menjadi IDR 3.000. Jadi intinya, semua masih bisa ditawar. Hehehe.

Kami lalu naik salah satu bus dan tak berapa lama bus pun berangkat karena penumpang memang telah lumayan banyak di dalam. Dalam perjalanan, meskipun kami sudah bilang ke si kenek bahwa kami turun di Basecamp Patakbanteng, kami tetap waspada dan memerhatikan suasana sekitar siapa tahu ada plang-plang yang mungkin saja menunjukkan letak Basecamp Patakbanteng ini.

Dan ternyata kewaspadaan kami berdasar. Si kenek lupa kalau kami mau turun di Patakbanteng. Untung kami melihat ada plang Basecamp Patakbanteng dan meminta turun di situ. Jadi bagi yang melakukan perjalanan seperti kami, kalian juga harus waspada ya. Daripada kebablasan, kan ribet.

Kalau dari Losmen Bu Djono, Basecamp Patakbanteng bisa ditempuh sekitar 10 menit saja dengan bus, dan letaknya ada di kiri jalan. Jadi, pas naik bus pilih saja untuk duduk di kursi bagian kiri dan perhatikan bagian kiri terus sampai kalian melihat plang Basecamp Patakbanteng. Oke?


Pengalaman Mendaki Gunung Prau


Dari pintu gerbang berplang itu, kami tinggal berjalan lurus sejauh kurang lebih 100 meter menuju basecamp.

Nah, karena sudah terlebih dahulu janjian dengan Mas Pii, kami pun menelepon Mas Pii dan mengabarkan kalau kami sudah datang. Bagi kalian yang belum janjian, bisa langsung masuk dan menanyakan mengenai persewaan dll langsung ke petugas di bagian loket registrasi.

Mas Pii datang tak lama kemudian. Dia mengajak Suami Kembar A untuk masuk dan mengurus segala prosesnya, termasuk bertemu dengan porter yang akan menemani kami.

Sebelum berangkat, kami sempat membeli air dan nasi di warung yang berada di area basecamp. Mas Pii yang memaksa kami membeli nasi karena menurutnya orang yang terbiasa makan nasi akan merasa lemas jika tidak makan nasi, apalagi di gunung yang dikit. Jadi, kami pun menurut.

Sayangnya, makanan yang kami beli sedikit terlalu mahal sih menurut kami. Si Kembar memesan nasi dengan lauk pindang dan Suami Kembar A dengan lauk telur asin, dan masing-masing dihargai IDR 15.000. Huft.

Pendakian pun dimulai pukul 13.30. Barang-barang yang kami sewa dibawa semua oleh Mas Irfan, porter kami waktu itu. Bahkan beberapa makanan dan air juga kami titipkan di carrier-nya.

Dari basecamp, kami melalui setapak kecil berpaving. Setelah itu, kami disambut tangga yang berwarna-warni yang dinamai ondo sewu.

Baru mulai saja, rasanya nafas sudah mau putus. Menyelesaikan tangga yang tidak sampai 1000 itu saja kami sudah ngos-ngosan.

Setelah tangga, kami disambut jalan makadam yang walaupun cukup melelahkan tapi masih jauh lebih menyenangkan daripada tangga tadi. Di ujung jalan itu, ada warung dan kami pun berhenti untuk membeli semangka potong. Alhamdulillah, benar-benar sangat melegakan tenggorokan kami.

Tak jauh dari warung ini, kami sampai di Pos 1 (Sikut Dewo), yang berupa pos kecil yang berada di pojokan dari sebuah tanjakan. Pos 1 ini sebenarnya adalah tempat pengecekan tiket. Namun, biasanya itu hanya ada di akhir pekan. Dan karena saat itu masih hari kerja, jadi tidak ada pemeriksaan tiket di sini.

Bagi yang ingin sedikit lebih enak, kalian bisa naik ojek dari basecamp ke Pos 1 dengan biaya IDR 20.000 per motor.

Setelah Pos 1 itu, kami melewati tangga tanah/batu dengan lahan pertanian di kiri kanan. Setelah itu, kami kembali tiba di sebuah warung. Dan di sana kami memutuskan untuk kembali beristirahat.

Kami makan semangka lagi dan membeli tongkat kayu seharga 5000 per biji untuk Si Kembar. Suami Kembar A juga mencicipi lontong yang dimakan dengan gorengan. Makan dan bercakap, tak terasa kami beristirahat hingga setengah jam di warung ini. Selesai membayar, kami pun lanjut mendaki.

Dari warung ini, kami masih dihadapkan dengan tangga tanah yang jika diinjak menyebabkan debu beterbangan. Kami sempat ke toilet yang berlokasi di warung terakhir. Dari situ, sebenarnya tidak terlalu jauh untuk menuju ke Pos 2 (Canggal Walangan). Pos ini hanya berupa tanah terbuka dengan papan petunjuk saja. Pos ini jugalah yang menandai perubahan vegetasi, dari pertanian ke hutan. Yap, setelah Pos 2 ini kalian benar-benar telah masuk ke area hutan. Namun, meskipun begitu, suara azan dari kejauhan juga masih bisa terdengar.

Perjalanan dari Pos 2 menuju Pos 3 ini mulai sedikit lebih terjal. Namun, kalian masih akan mendapatkan bonus tanah yang landai walaupun tak banyak. Kami melewati tanjakan tanah berbatu yang dinaungi pohon-pohon pinus. Pada jalur ini, kami semakin lebih sering berhenti untuk mengatur nafas. Untungnya, pemandangannya sangat indah. Jadi, sangat membantu menyemangati kami.

Sebenarnya jika diukur dengan jarak, Pos 2 dan Pos 3 ini cukup dekat. Normalnya mungkin sekitar 30-45 menit. Namun, kami tak ingat pasti berapa waktu yang kami butuhkan untuk sampai di Pos 3.

Setelah Pos 3 ini, kami disambut jalanan yang dipenuhi akar. Sesuai dengan namanya sih, Pos 3 (Cacingan) ini memang didominasi jalanan yang dipenuhi akar-akar yang terlihat seperti cacing. Kalau lewat sini, kalian harus ekstra hati-hati agar tidak tersandung akar. Selain banyaknya akar, jalur setelah Pos 3 ini juga semakin terjal dan menanjak.

Perjalanan semakin berat. Tapi, setiap berhenti dan melihat ke bawah, rasa bangga dan bahagia selalu membuncah dan membuat kami bersemangat untuk lanjut. Setelah jalanan akar, kami disambut tangga tanah yang curam hingga akhirnya tiba di sebuah tempat terbuka yang kata Mas Ir bernama Pelawangan.

Dari situ, jalanan sudah mulai landai. Kami tiba di sunrise camp yang dipenuhi oleh tenda-tenda pendaki. Kata Mas Ir, di sini tanahnya sangat berdebu. Kurang enak untuk nenda karena ya kita akan kena debu. Hehe. Selain itu, view ke gunung-gunung di depannya juga kurang bagus karena masih tertutup bukit-bukit lain.

Mendirikan Tenda di Padang Lonte Sore


Mas Ir membawa kami ke tempat favoritnya, sebuah tanah terbuka yang menghadap langsung ke view gunung-gunung tanpa tertutup bukit. Inilah enaknya mendaki dengan guide lokal. Mereka tahu best spot di gunung tersebut.

Tempat kami mendirikan tenda tepat berada di sekeliling bunga daisy atau lonte sore dalam bahasa lokal. Kata Mas Ir, bunga itu sangat rimbun saat musim hujan. Karena saat itu kemarau, bunga-bunga daisy-nya tak terlalu lebat tapi masih cantik.

Sementara Mas Ir dan Suami Kembar A mendirikan tenda, si kembar asik berfoto-foto. Mas Irfan juga mendirikan tenda yang hanya bisa diisi satu orang untuk tempat tidurnya nanti.

Sore itu, awan cukup pekat. Tiga gunung di depan kami tidak terlihat semuanya. Mas Ir bilang, kalau tidak pekat awannya, gunung itu akan terlihat berjajar tiga persis seperti di botol Aqua. Kami berdoa semoga besok kami bisa melihatnya persis seperti di botol Aqua itu.

Setelah tenda berdiri, kami segera bergantian ganti baju. Kami sudah diberitahu sebelumnya oleh Mas Pii dan Mas irfan bahwa salah satu penyebab hipotermia adalah ketika kita memakai baju yang berkeringat. Jadi, begitu tiba di puncak, kalian diwajibkan untuk mengganti baju kalian dengan baju yang kering.

Setelah berganti baju, kami memanfaatkan waktu untuk salat Ashar sebelum waktunya habis. Kemudian, kami semua berkumpul di depan tenda. Mas Irfan menawarkan untuk melihat sunset tapi kami menolak karena tenaga sudah habis (yang sebenarnya sedikit kami sesali karena sunset di Prau sangat indah).

Mas Irfan kemudian mengambil arang di suatu tempat persembunyiannya. Beberapa porter memang melakukannya: menyembunyikan beberapa benda di titik-titik tertentu. Selain arang, dia juga membawa dua botol aqua besar berisi air yang di dalamnya sudah ada uget-ugetnya.

Mas Irfan menggunakan arang tersebut untuk membuat api yang bisa kami gunakan untuk menghangatkan badan. Selain itu, dia juga menyalakan kompor dan membuatkan minuman dari bahan-bahan yang kami bawa: bandrek dan kopi instan.

Ketika matahari terbenam dan suara azan Maghrib terdengar di kejauhan, kami pun segera sholat. Selesai sholat, rasa lapar menyerang. Kami segera membuka bekal nasi yang kami beli di basecamp tadi. Sementara itu, Mas Irfan membuat mi rebus.

Kami kemudian mengisi malam itu dengan mengobrol tentang banyak hal,sembari menikmati bintang dan milky way yang terlihat jelas. Rasa dingin yang menusuk sempat membuat kami menggigil. Untung, kami datang dengan porter yang berpengalaman jadi kami bisa mendapatkan sumber kehangatan dari api tadi. Hehehe. Jika mau buang air kecil, Si Kembar pun harus saling antar. Wkwkwk.

Sekitar pukul 22.00 rasa kantuk tak bisa tertahan. Kami pun memutuskan untuk masuk tenda dan tidur. Tenda tadi pas untuk ditiduri kami bertiga. Cukup luas bahkan dengan barang-barang yang kami masukkan semua ke dalam tenda.


Menikmati Sunrise yang Indah di Gunung Prau


Pukul 03.00, Si Kembar bangun oleh dering alarm. Kami memutuskan memanfaatkan waktu untuk menikmati bintang-bintang sebelum sepenuhnya menghilang. Pukul 04.00 lebih, suara azan berkumandang dan kami pun melaksanakannya sholat subuh sambil mengigil. Tak berapa lama, mas Irfan pun bangun oleh suara alarmnya.

Setelah itu, kami sibuk menikmati alam sembari menunggu sunrise. Ketika sunrise muncul, suasana sekitar menjadi semakin indah. Alhamdulillah, awan sudah turun sehingga tiga gunung di depan kami terlihat jelas. Mas Irfan mengatakan kami cukup beruntung dengan cuaca saat itu.


Perjalanan Menuruni Gunung Prau


Setelah puas menikmati dan memfoto sunrise serta pemandangan sekeliling, kami pun sarapan sekitar pukul 07.00. Usai sarapan, mas Irfan membongkar tenda dan kami pun memulai perjalanan menuruni Prau sekitar pukul 07.30. Tak lupa kami sempatkan untuk berfoto di tulisan puncak.

Perjalanan turun cukup mendebarkan. Jalanan curam yang ketika didaki menimbulkan kesulitan tersendiri ternyata juga memunculkan tantangan lain ketika kami harus menuruninya. Selain kaki yang harus kuat, sepatu pun harus bagus dan memiliki tingkat cengkraman yang cukup oke.

Kami berjalan pelan. Turun, menapak, memastikan pijakan tak bergerak, baru bisa menurunkan kaki berikutnya. Tongkat yang kemarin kami beli cukup membantu kami, khususnya ketika menuruni jalur yang miring dan berdebu sehingga rawan membuat kita terpeleset.

Setelah Pos 3, yaitu ketika banyak akar-akar pohon di jalur yang akan kami lewati, kami harus ekstra hati-hati karena menurut mas Ir banyak yang terpeleset di situ.

Kami masih sempat beberapa kali berhenti selama perjalanan menuruni Prau. Dan Alhamdulilah meskipun begitu, kami akhirnya bisa tiba dengan selamat di basecamp dalam waktu dua jam.



Artikel terkait:

BACKPACKING MURAH DATARAN TINGGI DIENG (WONOSOBO & BANJARNEGARA) 3 HARI 4 MALAM (3D4N): HARI KETIGA (14 AGUSTUS 2018)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar