Jumat, 10 Januari 2020

CERITA BACKPACKING DAN GAGAL MUNCAK DI MERBABU 3 HARI 3 MALAM (3D3N): HARI PERTAMA (5 AGUSTUS 2019)

Starting point: Surabaya

Traveler: Kembar A, Suami Kembar A, dan Kembar B


Persiapan perjalanan kali ini terbilang lebih ribet daripada biasanya karena tujuan utama kami kali ini adalah mendaki gunung, yaitu Gunung Merbabu. Kami sudah membeli beberapa makanan dan peralatan yang sekiranya akan kami butuhkan selama pendakian.


Seperti halnya pendakian di Gunung Prau, Dieng, pada pendakian kali ini kami juga berencana menggunakan jasa porter sekaligus menyewa alat dari penyedia jasa tersebut. Bedanya, jika ketika di Gunung Prau kami menyewa porter langsung di tempat, kali ini kami memesan terlebih dahulu setelah sebelumnya mengumpulkan data melalui browsing di Internet dan Instagram. Akhirnya kami deal dengan salah satu penyedia jasa dan akan bertemu dengan dua porter pada hari H pendakian, yaitu esok hari.


Hari ini, sebelum berangkat ke stasiun, kami membeli nasi bungkus untuk bekal yang rencananya akan kami makan nanti di kereta.


Jam 7.30, kami berangkat menuju Stasiun Gubeng dengan naik GoCar. Jalanan cukup lancar dan kami tiba sekitar 15 menit kemudian.


Jam 8 kurang, kami segera melakukan check-in menggunakan e-ticket/e-boarding pass yang telah kami proses sebelumnya melalui aplikasi KAI Access. Tak berapa lama kereta Pasundan pun datang dan berangkat tepat waktu pada pukul 08.10.


Baca juga: 

CARA CHECK-IN DI STASIUN KERETA API DENGAN FASILITAS E-BOARDING PASS DARI KAI ACCESS 


Kami sempatkan memakan nasi bungkus kami di dalam kereta. Selanjutnya, kami memanfaatkan perjalanan selama kurang lebih 5 jam itu untuk tidur.


Kereta tiba di Stasiun Purwosari pada pukul 13.00. Karena sudah masuk waktu Zuhur, kami memutuskan untuk salat jamak di musala stasiun.



Selesai salat, kami bergegas untuk mencari makan karena perjalanan setelah ini cukup panjang dan karena dikejar waktu juga takutnya kami tak bakal sempat makan siang nanti. Kami sempat galau mau makan di mana karena di dalam perjalanan non wisata kuliner seperti ini, kami memang cenderung berhati-hati dan berhemat dalam membeli makanan.


Akhirnya kami makan di sebuah warung di dekat stasiun dengan terlebih dahulu menanyakan daftar harganya. Ternyata ada yang harganya terjangkau. Kami memesan makanan termurah di warung itu, nasi pecel lauk telur ceplok dengan harga IDR 10.000 per porsi. Lumayan lah hehehe.


Selesai makan, kami berniat naik Batik Solo Trans (BST) untuk menuju Terminal Tirtonadi. Namun sayangnya, setelah melihat pada peta yang ada di Halte BST, kami tidak menemukan ada BST yang langsung menuju ke Terminal Tirtonadi. Akhirnya kami memutuskan untuk naik GoCar saja.


Driver GoCar menjemput kami pukul 14.15 dan kami tiba di Terminal Tirtonadi 10 menit kemudian.

Sesampainya di Terminal Tirtonadi, kami langsung disambut oleh beberapa kernet bus dari berbagai jurusan. Kami bilang mau ke Boyolali dan kami di arahkan ke bus jurusan Semarang. Oh ya, ada bus yang patas, ada pula yang ekonomi. Kalian bisa memilih yang sesuai budget. Saat itu kami memilih yang ekonomi dong tentu saja. Hehehe.


Dari terminal, bus berjalan menuju suatu tempat yang kemudian kami ketahui bernama “Pos Kontrol Terminal Tirtonadi”. Lokasinya ternyata cukup dekat dengan stasiun, tepatnya di depan kampus PGSD FKIP UNS di Jalan Slamet Riyadi. Kalau berjalan dari stasiun, kita hanya butuh waktu sekitar 10 menit saja. Seandainya tahu hal ini, tentu kami tadi tidak perlu naik GoCar dan bisa lebih menghemat uang. Jadi, kalian yang mau ke Terminal Tirtonadi untuk naik bus jurusan Boyolali atau Semarang bisa menggunakan cara ini ya.


Bus ngetem di tempat itu cukup lama. Dari pertama datang sekitar pukul 14.30, bus baru berangkat lagi pukul 14.51.


Tak berapa lama, kernet menarik uang dari kami. Kami minta diturunkan di RSUD Pandan Arang sesuai dengan informasi yang sebelumnya telah kami baca di internet. Kami meminta kernet memberitahu kami jika sudah sampai. Masing-masing dari kami membayar IDR 15.000.


Pada sekitar pukul 15.30, kami diturunkan di gerbang masuk RSUD Pandan Arang. Kami bertanya ke seseorang di sekitar situ tentang angkutan yang menuju ke Cepogo, dan dia mengatakan bahwa kami harus berjalan ke perempatan lampu merah lalu belok ke kiri dan menunggu di sekitar situ. Dari titik kami diturunkan bus, kami masih harus berjalan sekitar 300 meter. Jadi, jika kalian menggunakan bus dari Solo, bilang saja “turun di perempatan lampu merah setelah RSUD Pandan Arang” sehingga kalian tak perlu berjalan terlalu jauh.


Kami menunggu dengan harap-harap cemas. Kami bertanya kepada bapak-bapak di sekitar situ mengenai mikrobus ke arah Selo. Bapak itu memberi tahu kami bahwa kami harus naik mikrobus ke Cepogo terlebih dahulu. Mikrobus terakhir jurusan Cepogo datang sekitar pukul 16.00. Kami sedikit deg-degan mengingat kami hampir saja ketinggalan mikrobus terakhir.


Bapak itu menambahkan bahwa mikrobus tersebut kemungkinan hanya sampai Pasar Cepogo dan dia tidak bisa memastikan apakah masih ada mikrobus yang menuju ke Selo. Hati kami sedikit gamang. Ah, yang penting sampai Cepogo dulu, pikir kami.


Tak berapa lama, datang tiga pemuda yang sepertinya juga akan mendaki karena masing-masing dari mereka membawa carrier besar. Mereka berdiri agak jauh dari tempat kami sehingga kami tak sempat bercakap-cakap.


Dan mikrobus yang kami tunggu muncul juga tepat pukul 16.00. Dan benar saja, ketiga pemuda itu juga ikut naik. Suami Kembar A mengajak mereka ngobrol dan memang benar mereka juga hendak mendaki Gunung Merbabu.


Duapuluh lima menit kemudian kami sampai di Pasar Cepogo. Semua penduduk lokal yang satu bus dengan kami turun di situ, menyisakan hanya kami berenam. Semula bapak itu hendak menarik ongkos IDR 6.000 per orang, yang menurut kami merupakan harga wajar untuk ongkos Boyolali – Pasar Cepogo. Namun, dia akhirnya menawarkan pada kami untuk menyarter busnya hingga ke Selo dengan biaya total IDR 200.000. Sebenarnya ongkos ini cukup mahal bagi kami. Namun, karena ongkos itu dibagi berenam akhirnya jatuhnya tidak terlalu mahal, yaitu hanya sekitar IDR 35.000 per orang. Kami berenam pun menyetujuinya.


Kami berangkat dari Pasar Cepogo pukul 16.30 dan tiba di Polsek Selo sekitar dua puluh menit kemudian. Seorang bapak menawarkan kami tumpangan menuju basecamp tapi kami menolak karena masih ingin mencari makan dan salat di area Selo tersebut.


Perut kami mulai keroncongan dan kebetulan di depan Polsek Selo, ada penjual mi ayam. Kami memutuskan untuk makan di situ saja.


Selesai makan, kami langsung menuju masjid yang berada tepat di depan warung tersebut karena saat itu memang sudah hampir masuk waktu Magrib.


Sesuai rencana sebelumnya, kami akan menuju basecamp dengan berjalan kaki dan tidak menyewa ojek. Hitung-hitung pemanasan. Namun, jika kalian mau menyewa ojek bisa juga kok. Kalian tinggal bertanya ke penduduk lokal yang ada di sekitar situ.


Selesai salat Magrib, pukul 18.00, kami mulai melakukan perjalanan. Sebenarnya dari masjid ada jalan lurus, entah menuju ke mana. Karena takut salah, kami memilih jalan di samping Polsek karena itu sesuai dengan arahan yang kami baca di internet.


Jadi, dari jalan masuk di sebelah kiri Polsek, kami berjalan lurus hingga menemukan pertigaan. Di pertigaan ini, kami belok kanan. Dalam proses ini, kami menemukan jalan yang ternyata mengarah ke masjid. Wkwkwk. Jadi, kalau kalian lewat gang di sebelah masjid ya bakalan lebih dekat.


Kami berjalan lurus hingga menemukan pos, kemudian belok kiri. Kami melewati deretan rumah-rumah yang masuk kawasan Kampung Homestay Damandiri. Kami kemudian belok kanan, dan lurus mengikuti jalan beton. Ada gapura, kami tetap lurus sampai tiba di pertigaan dengan rumah megah. Di situ, kami belok kanan dan lanjut mengikuti jalan beton, hingga tiba di sebuah gapura Kampung Basecamp. Dari Polsek hingga ke titik ini, kami menghabiskan waktu tepat 1 jam.


Kami berjalan dan menemukan sebuah pos. Di sini, ada petugas yang menarik uang untuk retribusi desa. Kami membayar biaya IDR 5.000 per orang dan setelahnya bebas memilih mau tidur di basecamp mana. Apakah gratis? Ya, kalian bisa tidur di basecamp manapun tanpa membayar alias gratis.


Semula kami ingin menginap di Basecamp Pak Parman. Namun, ketika sampai sana, suasananya ramai sekali, kurang bersih dan terlalu luas. Kami merasa bahwa istirahat kami nanti akan kurang nyaman.


Kami akhirnya memilih untuk tidur di Basecamp Kang Tisna yang tepat berada di samping Basecamp Pak Parman.


Saat itu, hanya ada kelompok kami dan satu kelompok lainnya. Kami segera membeli makanan dan minuman hangat ke ibu yang berjaga di situ.


Selesai makan dan salat Isya, kami memilih untuk langsung beristirahat. Dan bodohnya, peralatan kami seperti sleeping bag, dibawa oleh porter karena memang itu termasuk barang yang kami sewa. Alhasil, kami tidur dengan kedinginan dan hanya mengandalkan thermal blanket yang kami bawa. Namun, meksipun kedinginan, toh kami bisa tidur dengan cukup pulas.




Hari: Kedua Ketiga


Itinerary Biaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar